KOMISI Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai akurasi data pemilih disabilitas pada Pemilu maupun Pilkada 2024 bergantung pada keterbukaan keluarga.
“Sejak tahun 2019, pendataan penyandang disabilitas sebagai pemilih itu sangat terkendala pada keterbukaan keluarga yang memiliki anggota penyandang disabiitas,” kata ketua Tim Pengamatan Situasi Pemenuhan Hak Konstitusional Warga Negara pada Pemiu dan Pilkada Serentak 2024, Pramono Ubaid Tanthowi, dalam konferensi pers di Jakarta (12/5/2023).
Ketidakterbukaan keluarga itu menurut Pramono masih dipengaruhi stigma bahwa memiliki anggota keluarga penyandang disabilitas adalah aib atau hal memalukan, sehingga keluarga memilih tidak memberitahukan kondisi tersebut.
Padahal data tentang pemilih disabilitas diperlukan untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) penyediaan fasilitas ramah disabilitas di setiap TPS.
“Akibatnya nanti penyediaan fasilitas oleh KPU tidak sesuai data. Sebenarnya ada penyandang disabilitas tapi keluarga menutupi, hingga KPU tidak tahu di TPS tersebut ada pemilih disabilitas, dan KPU tidak punya basis data untuk menyediakan fasilitasnya,” ujar Pramono.
Terkait pemilih disabilitas, Komnas HAM melihat hingga saat ini KPU hanya fokus mendata di panti sosial yang mengelola para penyandang disabilitas. Di tempat tersebut memang sudah jelas jenis disabilitas dan jumlahnya.
Akibatnya, data pemilih disabilitas tidak valid dan tidak sepenuhnya representatif karena kondisi di luar panti tidak bisa terdata dengan akurat.
Komnas HAM telah melakukan pemantauan pra-pemilu dan pilkada 2024 di 5 provinsi, yaitu Sumatra Utara, Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, dan Kalimantan Barat.
Selain pemilih disabilitas, kelompok rentan lainnya juga harus mendapat perhatian besar seperti warga binaan pemasyarakatan, pekerja perkebunan dan pertambangan, pekerja migran Indonesia, pekerja rumah tangga, masyarakat adat atau suku terasing, juga masyarakat yang tinggal di perbatasan negara.
KOMENTAR ANDA