SEBETULNYA, kejadian yang diungkapkan Jabir bin Abdullah tergolong kisah yang mengandung unsur pahit. Bibi si Jabir baru saja dicerai oleh suaminya. Sedikit banyaknya, perceraian tentu menyisakan awan kelabu, karena perempuan tersebut perlu memikirkan masa depan dalam kemandirian, sebab tak ada lagi tulang punggung pencari nafkah.
Ketika masih menjalani masa iddah, sang bibi memilih pergi keluar rumah. Dia menuju ladang hendak memetik buah kurma. Perempuan itu mulai berusaha dengan tangan dan kaki sendiri.
Namun, apa yang dilakukannya tidak dipandang elok oleh budaya setempat. Langkah tulusnya memanen kurma, menuai protes keras dari seorang laki-laki. Tidak pantas perempuan yang sedang iddah keluar dari rumahnya, begitulah maksud dari hardikan tersebut. Itulah yang berlaku dalam adat istiadat setempat dan kaum hawa wajib mematuhinya.
Jabir bin Abdullah patut berbangga hati memiliki seorang bibi yang merupakan perempuan berhati baja. Intimidasi sama sekali tidak menyurutkan langkahnya dan mematahkan semangatnya. Perempuan itu dengan tegas menolak untuk menyerah.
Ia kemudian memutuskan langsung meminta fatwa kepada junjungan mulia Nabi Muhammad Saw. Rasulullah lahir bukan untuk melanggengkan dominasi patriarki yang acap kali tidak ramah perempuan. Beliau justru mendukung kemandirian perempaun dalam berpikir, bersikap, dan bertindak.
Rasulullah bersabda, “Keluarlah (dari rumahmu), lalu petiklah buah kurmamu, barangkali kamu mau bersedekah dengan kurma tadi atau dapat berbuat baik.” (HR. Muslim) (disarikan dari Sayyid Sabiq dalam buku Fiqih Sunnah 3 [2017: 664])
Ada gemilangnya keberanian yang menjadi pondasi dari lahirnya etos kemandirian; yakni keberanian sang bibi mendobrak tradisi yang mengekang perempuan dan keberanian Rasulullah mendukung penuh kemandirian kaum hawa.
Pada hadis di atas Nabi Muhammad Saw menyuruh perempuan yang sedang dalam masa iddah, untuk berani keluar dari rumah, berjuang menggapai masa depan. Motivasi ini lebih dari sekadar bekerja untuk kebutuhan pribadi, melainkan juga bersedekah dan berbuat kebaikan lainnya.
Menyentuh sekali petuah Nabi Muhammad Saw ini, sebab hanya orang-orang mandiri yang mampu lebih banyak menyebarkan kebajikan di persada dunia.
Etos adalah persoalan mendasar yang sering menghambat orang menggerakkan diri untuk mandiri. Semakin sulit lagi mencari pribadi-pribadi yang mampu membangkitkan etos itu dari lubuk sanubari. Syukurnya, Nabi Muhammad adalah sosok agung yang sangat memperhatikan kemandirian, khususnya bagi kaum hawa.
Hadis terdahulu punya beberapa dimensi menarik:
Pertama, semangat kemandirian menjadi suatu watak atau sikap batin yang memengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku pribadi muslimah.
Bila kebanyakan wanita berupaya mandiri karena keterpaksaan atau tiadanya pilihan lain demi sesuap nasi, maka Rasulullah menjadikan kemandirian sebagai karakter unggulan pribadi Muslimah, tidak perlu menunggu kondiri buruk dahulu.
Kemandirian menjadi sebuah seni bernilai tinggi, bukan sekadar memperjuangkan penghidupan pribadi. Oleh sebab itulah kemandirian perlu dijadikan watak yang melekat erat di sanubari perempuan.
Kedua, kemandirian bukan hanya hak paten bagi laki-laki. Zainab binti Jahsy adalah pengusaha kerajinan penyamak kulit. Sebetulnya dia bukanlah perempuan yang melarat. Namun dengan wirausaha, dia bisa lebih banyak bersedekah dan lebih sering berbuat kebajikan. Kemandirian itu yang membuat kehidupan Zainab terasa amat bermakna.
Para istri tidak boleh terlena lalu bersantai-santai saja menikmati melimpahnya penghasilan suami. Perempuan juga membutuhkan ajang aktualisasi diri, salah satu caranya dengan mengembangkan etos kemandirian.
Zainab binti Jahsy adalah istri Rasulullah, tetapi perempuan mulia itu menolak berpangku tangan. Hasil dari kemandiriannya malah membuka peluang banyak bersedekah.
Ingatlah, roda itu selalu berputar, kita tidak akan senantiasa berada di atas. Tatkala suami menemukan titik nadir dalam perkara ekonomi, seringkali usaha berlandaskan etos kemandirian istri yang menjadi penyelamat biduk rumah tangga.
Hidup akan tipis sekali maknanya bila hanya memperjuangkan sebidang perut sendiri. Ini pandangan yang terlalu egois. Sejatinya manusia hanya butuh beberapa potong roti untuk makan, selembar pakaian yang dikenakan dan sebidang ruang untuk tempat berteduh. Selebihnya, hasil dari kemandirian itu membuka peluang untuk bersedekah.
Salah satu keunggulan Rasulullah dalam pembinaan ekonomi tatkala beliau tidak berhenti dari sekadar menebar semangat, namun berlanjut pada membangun watak kemandirian. Jika sudah menjadi watak, ia tak akan terlepas dari napas hidup setiap umat Islam.
KOMENTAR ANDA