Ilustrasi istri bekerja membantu suami/Net
Ilustrasi istri bekerja membantu suami/Net
KOMENTAR

INDONESIA, selain melimpah kekayaan alamnya juga dianugerahi perempuan-perempuan berhati emas. Tanpa proses penyadaran berbelit-belit, mereka dengan sendirinya telah tampil membela ekonomi keluarga. Tatkala suami terjebak dalam keterbatasan, istri-istri tangguh langsung menjalankan peran ganda, mengelola urusan domestik juga mencari nafkah.

Kewajiban suami menafkahi hukumnya wajib menurut Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ para ulama. Surat an-Nisa ayat 34 secara spesifik menyebutkan wa bi maa anfaquu min amwalihim, artinya, “Dan karena mereka (suami) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” 

Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Adzhim menerangkan ayat tersebut terkait kewajiban suami menunaikan mahar, memberikan nafkah rumah tangga dan menunaikan berbagai tanggung jawab lain yang diwajibkan padanya. Sedangkan Tafsir Haqiy menerangkan ayat ini sebagai penegasan dalil kewajiban para suami menafkahi istrinya. 

Kitab Aisaru Tafasir menjelaskan ayat di atas terkait dengan leadership suami terhadap istri. Bahwasanya seorang suami, dikarenakan mahar yang telah dibayarkan, dan tanggung jawabnya dalam menunaikan nafkah, dari itulah dia layak disebut sebagai pemimpin dalam rumah tangga.

Ayat lain yang dipandang membahas kewajiban suami menafkahi adalah surat al-Baqarah ayat 233, yang artinya:

Kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani, kecuali sesuai dengan kemampuannya. Janganlah seorang ibu dibuat menderita karena anaknya dan jangan pula ayahnya dibuat menderita karena anaknya.

Sayyid Sabiq menerangkan dalam Fiqh Sunnah bahwa oleh karena adanya ikatan perkawinan yang sah, maka agama mewajibkan suami membelanjai istrinya. Dalam suatu pernikahan, seorang perempuan menjadi terikat semata-mata pada suaminya. Dari itulah segala kebutuhan istri merupakan tanggungan suami. Hal ini berdasarkan kaidah; setiap orang yang menahan hak orang lain atau kemanfaatannya, maka ia bertanggung jawab menafkahinya.

Kendati suami istri telah dibagi hak dan kewajibannya, masing-masing pasangan punya kewajiban moral untuk saling membantu. Sekalipun tanggung jawab menafkahi ada di pundak suami, istri secara moral terpanggil turut memperjuangkan ekonomi keluarga. Saling tolong menolong dalam menunaikan kewajiban merupakan bagian akhlak berumah tangga.

Tengoklah salah satu rumah tangga yang dipuji Rasulullah. Buku Putri-putri Sahabat Rasulullah karya Ahmad Khalil Jam’ah menceritakan, Asma putri khalifah Abu Bakar menerangkan bahwa suaminya bernama Zubair membantunya dalam pekerjaan di rumah tangga. Sebaliknya, Asma juga membantu suaminya merawat kuda suami, menyabit rumput, menanam benih di kebun dan sebagainya. 

Di lain sisi, keterbatasan suami secara ekonomi bukanlah sesuatu aib, dengan catatan memang begitulah kenyataan takaran rezeki dari hasil kerja kerasnya. Kecuali sang suami malas bekerja, tidak kreatif mencari rezeki, maka pantaslah ia terhina oleh kelalaiannya sendiri. 

Berbagai kasus bisa membuat suami berada dalam keterbatasan ekonomi. Pertama, keterbatasan atas pilihan kemuliaan. Pria diciptakan untuk menaklukkan dunia, sedangkan perempuan diciptakan menaklukkan hati laki-laki. Oleh sebab itu, wahai para istri, setelah sukses menaklukkan hati suami, berilah dia ruang yang lapang guna mewujudkan mimpi-mimpinya yang menjulang. 

Banyak juga pria yang mengorbankan hidupnya berjuang demi kemuliaan. Nabi Muhammad secara total berjuang demi kejayaan Islam. Dalam masa mengemban misi suci itu, beliau yang sebelumnya kaya raya mengorbankan nyaris seluruh hartanya. Sehingga Khadijah turun tangan membela ekonomi keluarga, bahkan menyantuni kesejahteraan umat Islam yang dirajam siksaan kaum kafir. 

Soekarno, habis-habisan mewujudkan impian Indonesia merdeka. Proklamator tampan rupawan itu tak punya waktu memikul kewajiban nafkah rumah tangga. Dalam memoarnya yang menawan, Ibu Inggit mengungkapkan, Bung Karno hanya sibuk rapat-rapat politik, menggalang kekuatan rakyat atau malah keluar masuk penjara. 

Dengan kesadaran penuh, Ibu Inggit tampil memperjuangkan ekonomi rumah tangga. Dia bersimbah peluh merintis berbagai usaha kecil di rumahnya. Istri berjiwa besar itu bukan saja mencari nafkah bagi suami dan dirinya, juga membela penghidupan para pejuang kemerdekaan yang rajin menyambangi rumahnya guna mengisi perut.

Kedua, keterbatasan atas ketidakberdayaan keadaan. Sejujurnya, belakangan ini kondisi ekonomi Indonesia, bahkan dunia, terus memburuk. Kita menyebut resesi global. Resep untuk terus hidup berhemat tidak lagi ampuh di tengah melonjaknya harga dan terus bertambahnya kebutuhan.

Suami telah bekerja sebelum matahari pagi terbit dan baru berhenti tatkala manusia lelap dalam dekapan malam. Namun, penghasilan yang dibawa masih saja tak kuasa menutupi kebutuhan primer. 

Di sinilah sang istri berperan membuka pintu rezeki yang lain. Boleh jadi, gerbang rezeki yang dijanjikan Ilahi itu kuncinya justru berada di tangan istri. Sehingga adakalanya istri mesti turun tangan dalam membela ekenomi keluarga.

Ketiga, keterbatasan dalam ketiadaan. Sewaktu-waktu ekonomi keluarga bisa terhempas dalam situasi emergency. Kasusnya bisa saja seperti suami di-PHK, sakit parah dalam waktu lama, atau malah suami meninggal dunia. 

Sejatinya istri berhak meminta cerai bila suami tidak mampu memenuhi tanggung jawabnya menunaikan nafkah. Tetapi secara umum, istri-istri Indonesia cukup terkenal dengan kesetiaan bahkan kesiapan berkorban. Tanpa diminta pun mereka seringkali lebih arif mencermati keadaan. Sehingga perempuan-perempuan baja itu proaktif menyingsingkan lengan baju. 

Sebuah rumah tangga tidak harus mengandalkan satu sumber pemasukan saja. Istri pun bisa ikut berpartisipasi memperkuat pondasi ekonomi. Kadangkala keterpaksaan keadaan membuat istri mesti mengambil-alih memikul tanggung jawab yang demikian berat. Apapun keterbatasannya tidak menjadi kendala, bila semua itu sudah dalam payung keridaan. 

Ringkasnya, nafkah adalah tanggung jawab suami, bukan kewajiban istri. Pada kondisi tertentu istri boleh, bahkan menjadi sangat dipuji, atas perannya menyedekah diri membela ekonomi keluarga. Inilah panggilan moral yang akan mengangkat derajat kemuliaannya di hadapan Sang Pencipta. 

Namun, semua itu pun harus atas keridaan istri serta tidak menghapus kewajiban suami untuk memenuhinya. Dan tentu saja ini bukanlah suatu kewajiban.




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur