PROSES perceraian efeknya bisa kemana-mana, dan siapa sangka bisa berdampak pula pada terlepasnya cadar. Sebagaimana kini publik terkejut melihat seorang selebritis terang-terangan melepas cadarnya di depan umum.
Tatkala perempuan itu mencopot cadarnya, para hadirin sontak berseru kagum, alangkah indah parasnya. Kemudian publik tidak habis pikir, mengapa sang penyanyi masyhur itu sampai hati menceraikan wanita yang demikian jelita.
Sebagian pihak lainnya tergidik menyaksikan seorang muslimah dengan sengaja membuka cadar di depan orang ramai, di hadapan banyak kamera, yang pastinya tersebar luas dan menjadi tontonan masyarakat dunia.
Cukup menggetarkan alasan si cantik melepaskan cadar, sebagai antisipasi kemandirian finansial. Dan beruntung, tawaran pekerjaan yang menggiurkan datang di waktu yang dramatis, dari sebuah brand skincare. Kelihatannya, kehidupan akan berlangsung teramat manis. Si cantik dapat pekerjaan di bidang kecantikan pula.
Namun berbagai pandangan miring mengiringi keberuntungannya. Betapa tega seorang muslimah melepas cadar hanya demi mencari nafkah. Bukankah masih banyak pilihan pekerjaan lain yang juga menjanjikan keuntungan finansial dari pada harus mengorbankan cadar?
Inilah yang menjadi poin menarik, karena dengan mengetahui hukum bercadar diharapkan kecurigaan atau prasangka di antara sesama umat Islam dapat menghilang.
Jangan sampai pihak yang pro bercadar menyalahkan yang tidak meyakini cadar itu kewajiban. Begitupun dengan yang hanya memilih berkerudung atau berjilbab, juga tidak elok menyalahkan pihak yang bercadar.
Syaikh Ahmad Jad dalam buku Fikih Sunnah Wanita (2010: 373-374) menulis, sebagian saudari muslimah yang bercadar berlebihan mengatakan bahwasanya kerudung kepala tidak ada dasarnya dalam Islam dan sesungguhnya perempuan yang tidak memakai cadar berarti telah durhaka kepada Tuhannya. Hal ini adalah sesuatu yang berlebihan dari mereka.
Permasalahan penutup kepala dan cadar adalah permasalahan khilafiyah (masih diperdebatkan). Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa semua tubuh perempuan adalah aurat. Oleh karena itu, mereka melihat cadar adalah suatu keharusan.
Di samping itu, ada juga ulama yang berpendapat bahwa tubuh perempuan adalah aurat, selain muka dan telapak tangan. Karenanya, yang wajib ditutupi adalah kepala dan bukan wajah.
Masing-masing menggunakan dalilnya sendiri-sendiri. Sementara Islam, sangat membuka peluang bagi berkembangnya intelektualitas, perbedaan pendapat itu sangat dihargai. Karena di setiap fatwa hukum yang ditetapkan berlandaskan dalil-dalil yang kuat, sehingga perbedaan cara memahami dalil itu pula yang berpengaruh terhadap adanya perbedaan hukum.
Demikian pula halnya dengan hukum mengenakan cadar, pokok pembahasannya adalah berbedanya dalil para ulama dalam memaknai aurat perempuan.
M. Quraish Shihab dalam bukunya M. Quraish Shihab Menjawab 101 Soal Perempuan yang Patut Anda Ketahui (2010: 31-32) menjelaskan: ulama berbeda pendapat tentang batas aurat perempuan. Ini disebabkan karena beragamnya hadis-hadis yang berbicara tentang batas-batas pakaian perempuan.
Ulama yang mewajibkan cadar melemahkan hadis dan pendapat-pendapat ulama yang meriwayatkan hadis yang membolehkan perempuan menampakkan wajah dan telapak tangan.
Para ulama yang mewajibkan bercadar merujuk kepada sekian banyak hadis, antara lain sabda Nabi Saw yang menyatakan, “Perempuan adalah aurat, maka apabila dia keluar (rumah), maka setan tampil membelalakkan matanya dan bermaksud buruk terhadapnya.” (HR at-Tirmidzi)
Perawi hadis, kata ulama, memiliki kelemahan dalam ingatannya dan hadis ini tidak diriwayatkan kecuali melalui seorang demi seorang. Apalagi kalau pun ia dinilai sahih, hadis itu tidaklah menunjukkan bahwa seluruh tubuh perempuan adalah aurat.
Karena kalimat “Perempuan adalah aurat”, dapat berarti ada bagian-bagian tertentu dari badan atau gerak perempuan yang rawan menimbulkan rangsangan.
Ketika sebagian ulama berdalilkan seluruh tubuh perempuan adalah aurat, maka jadilah mereka itu mewajibkan penggunaan cadar. Sedangkan mayoritas ulama berdalil kepada hadis yang menyebutkan aurat perempuan seluruh tubuhnya terkecuali muka dan tangan, sehingga kalangan ini tidak mewajibkan cadar.
M. Quraish Shihab (2010: 32-33) kembali menjelaskan, jika Anda bertanya kepada saya tentang hukum memakai cadar, jawaban saya seperti jawaban mayoritas ulama bahwa “dia tidak wajib”. Bahkan terlarang memakainya pada saat seorang muslimah sedang berpakaian ihram (melaksanakan ibadah haji atau umrah). Namun demikian, memakainya bukan haram dan karena kita tidak dapat melarang siapapun memakainya.
Pendapat mayoritas ulama bahwa cadar tidak wajib, bukan pula berarti melarangnya. Sejauh ini pemakaian cadar dipandang boleh atau bahkan dapat memuliakan perempuan tersebut. Jadi, izinkanlah pemakai cadar itu menunaikan kewajiban yang diyakininya secara bermartabat.
Bahkan di negara-negara yang pemeluk Islam minoritas pun penggunaan cadar diperbolehkan. Jadinya sungguh aneh kalau sesama pemeluk Islam malah ada yang melarang cadar.
Khilafiyah tentang cadar jangan sampai menghasilkan sengketa, justru lebih berguna diarahkan kepada hal-hal yang positif.
Syaikh Ahmad Jad (2010: 374) menasihati secara bijak, sebaiknya kaum muslimin, yang terdiri dari para dai dan para pengikutnya, yang mendukung cadar, dan juga lainnya yang berpendapat tentang bolehnya membuka wajah dan kedua telapak tangan, agar menghentikan perdebatan ini.
Hendaknya masing-masing orang, baik yang mendukung wajibnya cadar maupun yang berpendapat bolehnya membuka wajah dan kedua telapak tangan, menyatukan langkah demi tercapainya satu tujuan untuk menanggulangi adanya fenomena sosial merebaknya busana telanjang dan seronok, dari pada terus menerus melancarkan serangan terhadap orang-orang yang bercadar untuk menghabisi mereka. Sikap ini bukanlah sikap yang baik, dan ada indikasi niat yang tidak baik.
KOMENTAR ANDA