KOMENTAR

SIKLUS masalah itu seringkali beredar dari rangkaian kejadian yang berulang-ulang secara teratur dari air mata ke air mata. Seolah-olah hanya air mata sebagai pertanda adanya masalah yang demikian pelik. Padahal itulah bukti keterlambatan dalam mendeteksi dan mengantisipasi, yang berujung masalah yang tadinya kecil justru menjadi runyam.

Siklus Berbahaya

Dalam kehidupan bernegara, adakalanya pertikaian lintas etnis, suku, atau aliran agama malah disederhanakan dengan kesimpulan prematur bahwa itu cuma masalah keluarga. Tetapi, setelah masalah itu meledak menjadi kerusuhan besar, korban jiwa berjatuhan dan air mata maupun darah tumpah, barulah disadari rupanya ada persoalan serius. Sayangnya, keterlambatan itu bukan saja menghasilkan air mata tetapi juga korban jiwa.

Perusahaan tak jarang pula menganggap remeh masalah-masalah kecil, bahkan memandang tidak ada masalah sama sekali. Karena toh, karyawan tidak akan berani melawan, bahkan membantah saja mereka ciut nyalinya. Sampai-sampai bos menyimpulkan tidak ada persoalan di perusahaannya.

Padahal magma besar masalah terus ditumpuk, api dalam sekam terus membara. Lalu masalah itu meledak menjadi amarah besar. Bukan saja bos dan perusahaannya yang hancur tetapi juga orang-orang yang tak bersalah ikut menjadi korban.

Dalam relasi suami istri, perkara kecil sering dianggap biasa saja, dipandang angin lalu. Kesadaran itu baru muncul setelah meledak amarah besar yang menimbulkan pertengkaran hebat. Setelah air mata tumpah barulah mereka sadari selama ini ada persoalan yang sulit untuk diselesaikan.

Celakanya, bukan saja hubungan suami istri yang berantakan, akibat siklus air mata anak-anak tak bersalah turut menjadi korban yang paling menderita. Contoh-contoh tersebut sudah mencukupi sebagai bukti bahaya dari kebiasaan bergantung pada siklus air mata.

Perang Mulut

Dalam sebuah peperangan bersama pasukan muslimin juga turut serta orang-orang munafik dipimpin oleh Abdullah bin Ubay. Bukannya berperang secara sungguh-sungguh, mereka malah memanas-manasi dan mengadu domba sesama pasukan Islam dengan menebar isu kebencian lintas suku. Saking hebatnya hasutan kaum munafik, situasi pasukan Islam mulai memanas.

Nabi Muhammad sangat cepat mendeteksi masalah, kalau situasi perang mulut itu dibiarkan, anggota pasukannya yang sedang kelelahan akan lekas tersulut emosi, akibatnya sesama umat Islam sangat mungkin saling bunuh.

Langsung menjatuhkan hukuman mati kepada Abdullah bin Ubay pun bukan langkah bijak, sebab dia juga punya pendukung yang dapat menyulut pertempuran di dalam pasukan Islam. Kalau pun didiamkan saja, perang mulut yang mulai memanas itu dapat berujung pertumpahan darah, yang kemudian memunculkan deraian air mata.

Pada buku Fikih Sirah karya Said Ramadhan al-Buthy (2010: 357) dijelaskan:

Rasulullah memerintahkan pasukan Islam kembali melanjutkan perjalanan, meski pun waktu pemberangkatan belum tiba. Dengan begitu, perjalanan tersebut dapat menghindarkan para prajurit dari duduk-duduk berkumpul sambil berbincang-bincang atau bahkan bergunjing.

Bahkan sampai hari kedua, Rasulullah tidak menghentikan laju pasukan hingga malam. Tujuannya tidak memberi kesempatan kepada orang-oang munafik untuk menyebarkan kebatilan. Ketika Rasul menghentikan pasukannya, seluruh prajurit sudah kelelahan. Mereka pun tidur, sehingga tak satu pun sempat bercakap-cakap satu dengan lain.

Di sini sudah lebih dari cukup bagi kita memahami betapa pentingnya mendeteksi dan mengantisipasi masalah sejak dini. Rasulullah paham dalam perjalanan peperangan setiap orang sedang menghunus senjata tajam. Sedikit saja pergesekan terjadi akan memicu perang saudara dalam internal pasukan muslimin.

Awalnya hanya sekedar perang mulut, tapi pergesekan kecil di antara orang yang kelelahan bertempur sangat gampang meledakkan emosi. Orang yang sedang emosi selalu berbahaya, apalagi yang sedang memanggul senjata.

Dari itu, sekalian saja Rasul membuat seluruh pasukannya sangat kelelahan dengan memberangkatkan pasukan tanpa istirahat, sehingga mereka tumbang ketiduran dalam lelah yang luar biasa hingga terlupa pertengkaran mulut akibat fitnah kaum munafik sebelumnya.

Andai sedikit saja Rasul terlambat mendeteksi dan mengantisipasi masalah, perang mulut tadi akan berujung pertumpahan darah, mengucurkan air mata kesedihan dan bermuara dengan dendam. Kehebatan seorang pemimpin tampak pada kejeliannya mendeteksi masalah, segera memadamkan percikan sekecil apa pun agar tidak menjadi ledakan hebat.

Sejak Dini

Menganggap remeh potensi masalah sesungguhnya salah satu bentuk kesombongan. Tidak ada satu pun masalah yang dapat dipandang kecil. Bukankah orang-orang sering tergelincir karena kerikil kecil bukan disebabkan oleh batu besar.

Pada buku Hadapi Masalah Anda (2006: 37), Yusuf al-Uqshari menyebutkan ide menggunakan tanda-tanda peringatan dalam memecahkan masalah itu menjadi lebih bermanfaat ketika kita gunakan sebagai petunjuk untuk mencegah terjadinya masalah-masalah sebelum terjadi secara nyata, sehingga Anda dapat mengantisipasi masalah tersebut sebelum berkembang.

Anda dapat mengenal tanda-tanda peringatan yang mengingatkan adanya bahaya terjadinya masalah sebelum hal itu terjadi, agar Anda segera bertindak dan menyelesaikannya sebelum terjadi. Bila antisipasi itu dilakukan, tentu masalah-masalah yang Anda hadapi akan menjadi lebih sedikit dibandingkan sebelumnya.

Kecerdasan mengelola masalah mesti diiringi kejelian melihat potensi masalah dan kecekatan menuntaskannya. Kalau sudah terlanjur air mata yang mengalir, di sana sudah ada luka yang butuh waktu panjang dalam menyembuhkannya.

Kebiasaan menyadari masalah dengan cara siklus air mata telah menelan banyak korban. Saatnya menghentikan kebiasaan itu, sudah tiba waktunya memahami potensi masalah bukan lagi setelah air mata mengucur. Kehancuran itu datang bukan disebabkan besarnya masalah, melainkan keterlambatan dalam mendeteksi dan mengantisipasinya.




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur