SIAPA yang tidak kenal dengan Gunung Agung. Toko buku ini sangat legendaris and bersejarah. Didirikan oleh Tjio Wie Tay atau Haji Masagung pada 8 September 1953. Sudah hampir 70 tahun usia toko buku itu.
Haji Masagung juga dikenal setelah memprakarsai pameran buku bernama Pekan Buku Indonesia (1954). Dari situ, ia berkenalan dengan Soekarno dan Hatta, dan kemudian menerbitkan buku-buku karya Soekarno, seperti Di Bawah Bendera Revolusi.
Tapi kini, toko buku legendaris ini akan tinggal kenangan. Sebab, Direksi Gunung Agung menegaskan akan menutup total seluruh gerai toko buku, di akhir tahun ini. Alasannya, mereka tidak dapat bertahan lantaran penjualan terus menurun seiring terus berkurangnya jumlah pembaca buku fisik.
Tentu saja banyak yang menyayangkan keputusan ini. Wien Muldian, pegiat literasi menyebutkan, Toko Buku Gunung Agung telah berkontribusi besar bagi dunia literatur Indonesia sejak era setelah kemerdekaan.
“Gunung Agung ‘gagal’ menyesuaikan strategi bisnis. Perilaku konsumen saat ini sudah berubah, seiring perubahan zaman ke era digital. Akses terhadap buku menjadi luas dan masyarakat lebih termudahkan secara daring,” kata Wien.
Senada, Windy Ariestanty, penggagas Gerakan literasi dari toko buku indie, patjarmerah, menilai, tutupnya toko-toko buku besar memang dipicu oleh perubahan perilaku konsumen, bukan karena tuduhan usang seperti minat baca yang rendah.
“Faktanya, zaman memang sudah berubah. Jadi, pengelola buku juga harus mengubah cara dia mengelola dan juga pola pikirnya,” ucap Windy.
Hilangnya budaya membaca buku
Anak-anak Indonesia memang sudah tergilas oleh zaman akibat hilangnya tradisi membaca buku. Bahkan tempat membaca seperti taman bacaan atau rumah baca semakin terhimpit eksistensinya.
“Tadisi membaca bisa jadi kian langka akibat tidak adanya akses terhadap buku bacaan untuk anak-anak Indonesia, sehingga menjadi sebab perginya minat anak-anak untuk membaca buku. Panorama anak-anak yang sedang membaca buku kian langka, kian sulit ditemui di tempat-tempat umum,” kata pegiat literasi TBM Lentera Pustaka Syarif Yunus.
Mungkin memang budaya membaca itu tidak menurun, hanya saja membaca buku lebih baik dibandingkan e-book. Mengutip Mental Floss, ini empat alasannya:
1. Menurunkan pemahaman bacaan
Menurut penelitian yang dilakukan West Chester University, siswa yang membaca di iPad memiliki pemahaman bacaan yang lebih rendah dibanding yang membaca buku dalam bentuk fisik. Banyak pembaca yang melompati teks ketika membaca e-book, sehingga pemahaman mereka jadi tidak utuh.
2. Sering muncul gangguan saat membaca
Tampilan interaktif dan multimedia yang disajikan oleh e-book membuat anak lebih sedikit mengingat teks. Kemudian, banyak sekali kesempatan anak untuk membuka game atau sekadar membuka internet saat sedang membaca, sehingga aktivitas sebenarnya, yaitu membaca e-book, menjadi terganggu.
3. Keracunan alur cerita
Kebiasaan membaca yang tidak komprehensif dan melompat-lompat membuat seseorang menjadi keracunan dalam memahami sebuah alur cerita.
4. Mata cepat lelah
Memandangi layar dapat membuat mata dan otak cepat lelah. Penelitian yang dilakukan di Swedia pada 2005 menunjukkan, membaca di layar akan memakan energi jauh lebih banyak dibandingkan membaca lewat kertas. Sinar LED yang muncul juga dapat mengganggu pola tidur dan membuatnya semakin tidak berkualitas.
Nah Sahabat Farah, biasakan anak untuk membaca buku, ya. Dengan membaca buku, maka waktu anak bersama dan memandang gadget akan semakin sempit. Dengan begitu, Bunda juga ikut menyelamatkan kesehatan mata anak.
Ayo, semangat membaca!
KOMENTAR ANDA