NAMA yang tertera di KTP-nya adalah Salimah. Semasa kuliah, teman-teman dan dosen memanggilnya "Iin". Lalu ketika akhirnya dia terjun ke dunia siaran radio, orang mengenalnya sebagai "Ceuceu", panggilan kakak untuk perempuan Sunda.
Tidak terasa, sudah 13 tahun Ceuceu berkarier sebagai penyiar radio. Kini, dia menduduki jabatan Program Director Radio HOT 93.2 FM; sebuah stasiun radio di Jakarta yang menyiarkan lagu-lagu dangdut.
Jabatan sebagai program director memang membuatnya sedikit menjauh dari 'kabin' penyiar. Namun dia tetap siap siaga manakala dibutuhkan untuk mewawancarai figur publik.
Siapa sangka, passion-nya di bidang komunikasi membawa Ceuceu 'melenceng jauh' dari latar pendidikannya; jurusan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
"Waktu kuliah memang sudah tertarik sama dunia tulis-menulis, jurnalistik, dan segala yang berkaitan dengan komunikasi. Jadilah saya bergabung di majalah Suara Mahasiswa UI. Setelah lulus, saya melamar ke RTC UI, radionya mahasiswa UI, kesel banget waktu itu enggak diterima. Dari situlah saya penasaran, dan mengirim banyak lamaran ke berbagai stasiun radio, termasuk radio-radio yang hits di awal tahun 2000-an," kenang Ceuceu tentang awal mula terjun ke dunia radio broadcasting.
Bagi Ceuceu, menjadi penyiar radio bukan cuma harus tahu lagu-lagu hits tapi juga harus punya wawasan yang luas. Sejak belasan tahun lalu, dia kerap mengunjungi perpustakaan nasional untuk membaca beragam buku. Berbagai pengetahuan yang dia serap menjadi modal untuk membuka percakapan dengan para pendengar dan memberikan informasi bermanfaat bagi mereka.
"Awal bekerja di radio, saya justru diberi tugas sebagai script writer. Dari situlah saya belajar bahwa ini tidak hanya tentang cuap-cuap tapi juga belajar tentang bagaimana membuat konten menarik dengan bahasa menarik yang disukai pendengar dan pengiklan," jelas Ceuceu.
Dengan pengetahuan yang luas, Ceuceu mengaku tak hanya bisa mewawancarai penyanyi dangdut papan atas Tanah Air untuk siaran HOT FM, tapi juga tokoh-tokoh nasional seperti Prabowo Subianto dan Mahfud MD.
Ceuceu (kanan) saat berbincang bersama Farah.id
Ya, penyiar radio sejatinya adalah insan pers yang memiliki posisi sebagai agent of change dan mercusuar yang menyebarkan informasi seputar dunia politik, ekonomi, sosial, dan budaya kepada masyarakat.
Tak hanya mengasah otak untuk terus berpikir kreatif, menjadi penyiar radio juga menuntut Ceuceu untuk piawai mengelola emosi.
"Enggak peduli suasana hati lagi marah, sedih, atau galau, saat mengudara kita mesti happy, cheerful, seolah tidak ada masalah apa pun. Kehadiran kita menemani pendengar harus membawa kegembiraan untuk mereka," kata Ceuceu yang bersuamikan seorang lawyer ini.
Sebuah survei menunjukkan bahwa radio menjadi teman yang paling banyak didengarkan masyarakat saat menembus kemacetan, terutama di kota-kota besar. Bahkan ada yang menyebut bahwa selama lalu lintas masih macet, maka radio akan tetap hidup.
Karena itulah, sekalipun teknologi informasi semakin canggih dan platform penyiaran juga bertambah banyak, radio tetap punya tempat tersendiri di hati penggemarnya. Penyiar radio adalah sahabat bagi pendengarnya. Dan semakin hari, persahabatan itu akan terjalin semakin erat.
Demikian pula seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan Korea Selatan misalnya, stasiun radio menjadi tempat pertama yang didatangi penyanyi untuk mempromosikan album baru mereka. Sebelum itu, lagu sang penyanyi diputar di stasiun radio. Semakin banyak request untuk mendengar lagu itu menjadi salah satu indikasi bahwa lagu itu bakal hits.
Tak hanya itu, bekerja di radio menurut Ceuceu membuatnya mengenal banyak orang, menambah jaringan, serta membuatnya belajar berkolaborasi dengan tim stasiun radio lain.
Benarkah modal utama menjadi penyiar adalah kecerewetan?
"Bukan cerewet, melainkan communication skill yang ciamik. Artinya, dari sebuah hal kecil, penyiar harus mampu mengembangkan pembicaraan agar meluas, menguraikannya, juga membagikan berbagai fakta dan 'side stories'. Dengan begitu, meskipun hanya terdengar suaranya, penyiar dapat menjadi teman bicara yang 'hidup' dan atraktif, di situlah tantangannya," kata Ceuceu yang mengidolakan penyanyi senior Erie Suzan ini.
Lantas, apa perbedaan menjadi penyiar radio zaman old dan di zaman now?
"Kalau zaman dulu, maaf nih, kita belum mandi, pakai baju seadanya, sendal jepit, rambut awut-awutan, hijab style ala kadarnya, cuek saja siaran. Setelah siaran selesai, baru kita merapikan diri. Beda dengan sekarang, penyiar radio harus memperhatikan penampilan karena bukan hanya suaranya yang didengar. Mengenakan model baju yang sedang in, wajah bermakeup, hijab yang cantik, pokoknya harus terlihat bagus di layar. Maklumlah, sekarang eranya media sosial. Kapan dan di mana pun kita bisa 'tercyduk' di medsos," ungkap Ceuceu sambil tertawa.
Terlepas dari itu, profesi penyiar radio adalah salah satu profesi yang menurut Ceuceu cocok dikerjakan oleh perempuan. Alhamdulillah, suami dan kedua anaknya mendukung karier Ceuceu di HOT FM. Anak-anaknya yang semula 'tenggelam' dalam pusaran K-Pop, kini sedikit demi sedikit mulai mengenal musik dangdut.
Jadi, apa pesan Ceuceu untuk segenap perempuan Indonesia?
"Perempuan harus berani mengeluarkan potensi dalam dirinya. Tanpa mau mengeksplorasi diri, perempuan tidak akan tahu kemampuannya, hingga tidak akan menjadi berdaya," pungkas Ceuceu di akhir perbincangan seru bersama Farah.id.
KOMENTAR ANDA