PAKAIAN turut melambangkan otoritas. Orang-orang dengan seragam apparat, para dokter dengan jas putih, atau para hakim dengan jubah hitamnya, dipandang berperilaku dengan cara tertentu dan diasumsikan memiliki status pendidikan, ekonomi, serta status sosial berbeda.
Bahkan Kim Johnson dkk dalam studi bertajuk Dress, body and self: research in the social psychologt of dress (2014) mengatakan, perempuan dengan pakaian seksi memiliki stigma lebih ‘nakal’ dibandingkan mereka yang berpakaian konservatif (tertutup).
Tapi belakangan ini, kekuatan pakaian disalahgunakan. Muncul fenomena para pelaku kejahatan secara tiba-tiba berpakaian agamis. Mereka seolah-olah ingin menunjukkan telat bertobat atas kesalahan yang diperbuat. Padahal sebelumnya mereka tidak pernah menggunakan atrebut-atribut demikian.
Sebut saja Pinangki, Melinda Dee, Neneng Sriwahyuni, dan masih banyak lagi. Mereka tiba-tiba menjadi tampak lebih ‘alim’ dengan atribut jilbab, cadar, atau peci. Dan lucunya, kita seolah-olah menjadi ‘maklum’ karena terlalu seringnya melihat tren aneh ini.
Tapi jangan bilang pemakluman tersebut menyingkirkan rasa jengkel, ya. Karena Jaksa Agung ST Burhanuddin tampak sangat gerah dengan fenomena ini. Dia bahkan berencana menerbitkan larangan mengenakan atribut atau simbol agama di persidangan bagi terdakwa yang sebelum berperkara memang diketahui tidak biasa mengenakan atribut tersebut.
Burhanuddin khawatir, masyarakat kemudian mengaitkannya dengan simbol agama tertentu sebagai pelaku kejahatan. Apalagi ‘praktik bersalin busana’ ini ternyata difasilitasi para jaksa. Dalam arti, jaksalah yang memberikan baju koko atau peci kepada terdakwa sebelum sidang.
Mengutip Tirto.id, bersalin busana akan membuat para terdakwa berpikir dapat mengelabui publik atas kejahatannya. Setidaknya, menghadirkan citra seorang manusia yang siap berbenah diri setelah mendapat ‘cobaan’ dari Allah Swt.
Pakaian agamis, berwarna putih atau cenderung terang, secara tidak langsung menyampaikan perubahan sikap menjadi lebih baik. Karena faktanya, hampir di semua kebudayaan, warna terang konsisten menggambarkan kebaikan dan kelemahan.
Berikutnya, jilbab atau cadar. Mempresentasikan persepsi sebagai seseorang yang harus dibebaskan dari ‘penindasan’. Hal ini berdasar pada hasil kesimpulan studi Homa Hoodfar (2001).
Stusi Jordan W Moon dkk yang terbit di jurnal Psychological Science (2018) menyimpulkan gambaran terhadap orang-orang ‘religius’ yang dianggap lebih dapat dipercaya.
Kalau Sahabat Farah, setuju tidak dengan studi-studi di atas? Apakah masih bisa diterima fenomena pelaku kejahatan yang tiba-tiba terlihat agamis lewat pakaiannya?
KOMENTAR ANDA