Dampak Kontroversial Terdakwa Mendadak Berjilbab
ADA tanda tanya besar ketika melihat seorang terdakwa mengenakan atribut agama, seperti peci dan hijab, saat berada di ruang sidang. Padahal sebelumnya, pelaku kejahatan tersebut tidak mengenakan apapun yang terkait dengan atribut agama ini. Mereka pun didakwa atas pelanggaran-pelanggaran yang menyimpang jauh dari ajaran agama.
Bagi sebagian masyarakat, itu adalah bentuk kemunafikan. Di luar tampak sejinak kucing namun di dalam hatinya seganas serigala. Bahkan tidak sedikit yang beranggapan, atribut agama itu dijadikan cara memengaruhi aparat hukum atau upaya menggoyahkan hakim.
Di sisi lain, tidak sedikit pula yang menganggap hal tersebut wajar-wajar saja dan bukanlah suatu perkara yang merugikan.
Memang, siapapun berhak untuk membela diri, separah apapun kejahatan yang dituduhkan kepadanya. Namun, berbagai drama menyertai upaya pembelaan diri tersebut, mulai dari memohon, mengiba, meratap, hingga menangis.
Kekecewaan ini dapat dimaklumi sebagai bentuk penghargaan terhadap atribut agama tersebut. Namun demikian, umat Islam perlu melihat dengan jernih agar tidak terbawa arus emosional yang dapat merugikan keagungan agama tauhid.
Berikut ini beberapa pandangan yang dapat didiskusikan dari perspektif agama:
Pertama, mengenakan atribut agama seperti peci dan hijab adalah hak setiap manusia yang beragama Islam.
Kedua, semoga saja dengan penggunaan atribut agama itu merupakan tanda pertobatan dirinya. Sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang bertobat dan tidak mengulangi lagi.
Ketiga, percayalah pada hukum Allah Swt. Manusia bisa ditipu, dimanipulasi, dan dikelabui, tetapi tidak ada yang sanggup lari dari hukum Allah.
Keempat, diharapkan aparat hukum, terutama hakim, tidak terpengaruh dengan penampilan terdakwa. Kita harus percaya dengan profesionalitas aparat hukum, mereka sudah dibekali kemampuan yang mumpuni dalam menjalankan tugas.
Hukum ditegakkan tanpa memandang suku, agama, ras atau golongan. Hukum teguh mengibarkan panji keadilan.
Imam Al-Ghazali dalam bukunya Ihya Ulumuddin (2011: 67-68) menasihati, jika kita mampu menutupi aurat zahir pada diri kita dengan pakaian yang ada, lalu mengapa kita tidak mampu menutupi aurat batin dari penilaian yang buruk dari Allah Swt?
Bersikaplah sopan di hadapan-Nya dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Mengetahui tentang keadaan dan rahasia kita. Berlakulah tawadu secara lahir maupun batin. Sucikanlah gagasan dan pikiran kita sebersih mungkin.
Bersungguh-sungguhlah menyucikan sanubari kita dengan tobat dan penyesalan atas kesalahan yang telah kita perbuat, seraya menguatkan tekad untuk meninggalkan kesalahan serupa di masa-masa mendatang.
Sucikan batin dengan tobat yang sebenar-benarnya, sebab sanubari itu juga akan dipandang dan dinilai oleh Allah Swt, bukan hanya hal-hal yang bersifat lahiriah dari diri kita semata.
Indah sekali deretan nasihat yang diungkapkan Imam Ghazali, yang dapat juga direnungkan oleh pesakitan yang mendadak mengenakan atribut agama di persidangan. Sertakanlah busana muslim dan muslimah yang agung itu dengan memberi hijab bagi hati, supaya malu kepada Allah seandainya terbersit pikiran untuk menodai atau mengkhianati kesucian busana takwa itu.
Kita bantu dengan doa, agar para terdakwa tersebut mendapatkan cahaya petunjuk. Semoga mereka benar-benar kembali kepada Allah Swt sebagai hamba yang menyucikan diri dengan menjalani hukuman yang telah ditetapkan peradilan, dan mengiringinya dengan tobat yang sebenar-benarnya.
KOMENTAR ANDA