ADA masanya setiap orang akan bertanya kepada diri sendiri, apakah ia senantiasa mampu tampil ideal sesuai ekspektasi lingkungan sosialnya? Apakah penampilan luar yang berbeda dengan jati diri sesungguhnya akan menimbulkan masalah bagi kejiwaan?
Kisah seorang perempuan cantik yang baru saja dilantik untuk menduduki jabatan direktur di perusahaan terkemuka. Perempuan itu dituntut apik menyelesaikan berbagai masalah. Dia harus selalu tersenyum dan berhati lapang.
Tetapi faktanya, si perempuan punya rasa jenuh, lelah dan bahkan bisa marah. Bahkan pada kondisi tertentu, sang direktris mengalami tekanan psikologis. Ia merasa seperti bermuka dua. Untuk memenuhi ekspektasi orang lain, dirinya berkhianat dengan jati diri sendiri. Padahal yang ia pahami, bermuka dua itu dilarang dalam agama.
Umar Sulaiman al-Asygar dalam Ensiklopedia Kiamat (2011: 376) menerangkan, Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan dalam Shahih mereka dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Kalian akan dapati orang yang paling buruk pada hari kiamat adalah orang bermuka dua, yang kepada satu pihak datang dengan satu muka dan kepada pihak lain datang dengan muka yang lain."
Dalam beberapa hadis disebutkan bahwa di hari kiamat manusia seperti ini akan memiliki lidah dari api. Sebagaimana Abu Daud, Bukhari, ad-Darimi, Abu Ya’la, dan Ammar ibn Yasir meriwayatkann bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Siapa yang bermuka dua di dunia, ia akan berlidah api pada hari kiamat.” (Lafal hadis ini menurut Abu Dawud)
Namun, rasanya sulit sekali menghindar dari berbagai ekspektasi sosial, sebab kita tidak akan pernah bisa hidup sendiri. Hanya saja, teramat berat rasanya kala tampilan luar itu acap menimbulkan konflik batin dengan jati diri.
Singkat kata, setiap orang ingin menikmati hidup, tanpa harus bermuka dua dan tidak perlu mengorbankan jati diri demi ekspektasi pihak lain.
Jung Wooyul dalam bukunya Who Are You? (2021: 211) menjelaskan, manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial, sehingga kita tidak bisa mengabaikan ekspektasi-ekspektasi masyarakat. Manusia pun mencoba membangun karakter yang sesuai dengan ekspektasi masyarakat tersebut, atau yang disebut “persona”.
Persona adalah topeng yang dikenakan para pemain sandiwara pada zaman Yunani Kuno. Saat memulai kehidupan sosial, kita memakai topeng sosial dan memainkan peran. Sosok di balik topeng sangatlah berbeda dengan topeng yang dikenakan.
Beberapa orang bahkan tidak bisa membedakan persona dan jati diri, hingga akhirnya terbawa peran. la kemudian berusaha mengubah diri menjadi sosok yang dibayangkan dan merasa puas dengan penampilan luar. Alhasil, sosok luar dan dalam terlihat sama.
Bersyukurlah bagi orang yang masih menyadari, bahwa dirinya sedang terhanyut oleh tampilan luar, yang terkadang membuatnya terlanjur bermuka dua. Kita tidak perlu mengorbankan jati diri hanya demi memiliki ekspektasi persona yang menakjubkan. Kita hanya boleh menjalankan peran, tapi tidak menafikkan jati diri.
Memang pada beberapa orang yang tampilan luarnya selaras dengan jati diri. Namun, tidak semua seberuntung itu.
Jung Wooyul (2021: 212) menerangkan, untuk beberapa saat karakter asli seseorang cocok dengan persona yang diharapkan masyarakat. Namun jika “over-face” ini terus berlangsung, lama-kelamaan persona akan semakin besar sedangkan suara hati kian terabaikan. Itulah yang akhirnya menimbulkan masalah.
Jika mengabaikan jati diri, kita akan berusaha menolak emosi-emosi alami di bawah alam sadar. Itulah pemicu emosi yang naik-turun, tegang, cemas, obsesi, depresi, dan putus asa.
Agama Islam tegas melarang bermuka dua, karena bagian dari sifat munafik. Untuk peran sosial yang sedang dijalankan, boleh saja kita berupaya secara optimal memenuhi ekspektasi. Tetapi ingatlah, manusia punya sifat sulit untuk puas. Andaikan terpenuhi satu harapan, akan muncul ekspektasi berikutnya.
Dari itu, kita perlu mengedukasi lingkungan sosial agar lebih dewasa menerima kenyataan. Toh diri kita hanyalah manusia biasa, yang bisa sedih dan tidak mungkin terus tersenyum, yang bisa marah atau tidak mungkin terus menahan diri, yang bisa kecewa atau tidak bisa terus disakiti.
Cara mengedukasinya adalah dengan menjadi diri yang sesungguhnya. Masyarakat perlu tahu siapa kita, apa impian kita, dan bagaimana sikap hidup kita. Kita tidak mungkin didikte lingkungan sosial dan jangan dipaksa bermuka dua hanya demi memuaskan ekspektasi pihak luar.(F)
KOMENTAR ANDA