Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net
KOMENTAR

KURANG baik bagaimana lagi Abu Bakar terhadap Misthah bin Utsatsah, seorang lelaki yang morat-marit ekonominya sehingga keluarganya hidup dalam keterbatasan finansial. Abu Bakar mengulurkan tangan mulianya memberikan bantuan materi. Bukan sekali dua kali, bantuan itu dialirkannya secara rutin.

Tapi, apa balasan dari Misthah bin Utsatsah? Tatkala kaum munafik di Madinah menyebarkan kabar perselingkuhan terhadap Aisyah, Misthah bin Utsatsah malah ikut menjadi pentolan dari tersebarnya fitnah keji tersebut. 

Padahal dia tahu, Aisyah adalah putri kesayangan Abu Bakar. Ini yang disebut air susu dibalas air tuba. 

Seharusnya Misthah yang terdepan menangkis fitnah keji terhadap Aisyah yang dikenal sebagai perempuan suci, yang juga istri kesayangan Rasulullah. Semestinya dia tahu diri, karena ayah Aisyah yang menopang ekonomi keluarganya.

Ali Muhammad Ash-Shallabi dalam buku Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq (2013: 167) menceritakan: 

Abu Bakar Ash-Shiddiq menanggung nafkah hidup Misthah bin Utsatsah. Lalu ketika Misthah bin Utsatsah ikut-ikutan memberikan komentar miring menyangkut diri Aisyah dalam kisah al-Ifk yang sudah terkenal itu, maka Abu Bakar Ash-Shiddiq pun bersumpah tidak lagi memberinya nafkah selamanya. 

Abu Bakar benar-benar terluka yang teramat dalam. Al-Ifk atau fitnah keji terhadap Aisyah telah membuatnya sangat terpukul, dan makin berat bebannya disebabkan Misthah ikut berkomplot bersama kaum munafik dalam menyebarkannya.

Siapapun akan mudah memahami kemarahan Abu Bakar. Sangat manusiawi pula bila Abu Bakar menghentikan bantuan. Ibarat membesarkan anak macan, setelah besar malah menerkam majikannya. Misthah mengoyak-ngoyak kehormatan keluarga Abu Bakar.

Surat an-Nur ayat 22, yang artinya:

Janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan (rezeki) di antara kamu bersumpah (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orang miskin, dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah. Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Ayat ini memberikan arahan yang menarik:

Pertama, betapa mulianya orang yang memaafkan. Kebaikan yang dicurahkan Abu Bakar malah dibalas oleh Misthah dengan kepahitan teramat buruk. Namun, Allah Swt menghimbau agar memaafkannya. Tidak ada lagi manfaat yang lebih besar daripada memberi maaf. Karena memaafkan itu sesungguhnya mengobati hati sendiri. 

Memaafkan tidak selalu mudah dan itu adalah proses yang membutuhkan waktu dan ketulusan hati. Tetapi kita sedang memilih untuk menemukan kedamaian dalam sanubari sendiri.

Kedua, berlapang dada untuk melupakan. Hal paling keren tatkala sanggup melupakan kesalahan atau kejahatan orang lain. Namun, seperti yang jamak terjadi, memaafkan itu lebih mudah daripada melupakan. Ada memori pahit yang menghantui, yang terbayang-bayang, yang terus mengobarkan amarah bahkan dendam.

Dan ternyata yang paling dirugikan adalah diri kita sendiri. Hilang sudah kebahagiaan hidup disebabkan ingatan yang kuat untuk memori yang buruk. Di sinilah memaafkan itu belum berujung dengan kemaslahatan bagi sang pemberi maaf.

Dari itulah Al-Qur’an, mengarahkan supaya kita berlapang dada menerima kenyataan pahit. Pilihan terbaik adalah dengan melupakan, tetapi kita punya opsi menerimanya dengan lapang dada. Sekalipun belum mampu melupakan, kejadian buruk itu tidak berlanjut menjadi beban batin bagi diri sendiri.

Ali Muhammad Ash-Shallabi (2013: 167) mengungkapkan: 

Maka Abu Bakar ash-Shiddiq pun berkata, “Sungguh demi Allah, aku sangat ingin Allah mengampuniku.” 

Sejak saat itu, Abu Bakar Ash-Shiddiq pun kembali memberi jatah nafkah kepada Misthah bin Utsatsah seperti sebelumnya, dan dia berkata, “Sungguh demi Allah, aku tidak akan lagi mencabutnya selamanya.”

Abu Bakar Ash-Shiddiq benar-benar memahami ayat tersebut, bahwa seorang mukmin hendaklah meniru akhlak Allah, seperti memaafkan kesalahan, kekeliruan dan kealpaan. Jika dia melakukan hal itu, maka Allah juga akan berkenan memaafkan dirinya dan menutupi dosa-dosanya. Sebagaimana kamu berbuat, maka seperti itu pulalah kamu dibalas.

Abu Bakar merupakan salah seorang yang mubasyarah bil jannah (salah seorang yang diberi kabar gembira mendapat jaminan masuk surga). Pantaslah dia memiliki jiwa pemaaf yang luar biasa, yang rasa-rasanya sangat sulit disamai oleh manusia kebanyakan. Bukan hanya memaafkan, tetapi dia kembali memberi santunan kepada orang yang menyebarkan fitnah.

Tidak diketahui secara pasti, apakah Abu Bakar sudah melupakan kesalahan dari Misthah. Namun, yang dapat dipahami, dia sudah mengamalkan pesan Al-Qur’an untuk berlapang dada setelah memberikan maaf.

Alangkah beruntungnya orang yang mampu memaafkan dan bahkan melupakan. Sehingga kesalahan orang lain tidak lagi menjadikan beban batin terhadap dirinya. Semoga kita suatu saat nanti dilimpahi kekuatan jiwa seperti dahsyatnya Abu Bakar.

Penting untuk diingat bahwa memaafkan dan melupakan tidak berarti mengabaikan atau menyangkal rasa sakit yang pernah kita alami. Ini adalah proses yang membutuhkan waktu dan usaha, dan setiap orang mengalaminya dengan cara yang berbeda.




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur