KETUA Ikatan Perancang Busana Muslim (IPBM) Bandung Ning Zulkarnain optimis bahwa setiap desainer di Tanah Air akan mampu bangkit dengan strategi masing-masing selepas pandemi COVID-19.
“Sebagai desainer, kami (perancang IPBM) masih memiliki pelanggan setia. Saya misalnya, mungkin belum bisa kembali eksis seperti sebelumnya, butik juga tutup selama pandemi, tapi saya berusaha tidak merumahkan karyawan. Alhamdulillah, masih ada sejumlah konsumen setia yang bertransaksi lewat telepon,” ungkap Ibu Ning kepada Farah.id.
Menurut Ibu Ning, sangat penting untuk menjaga kedekatan dengan pelanggan loyal yang telah membersamai perjalanan kreatifnya selama ini.
“Saya menjaga hubungan baik dengan para customer setia tentunya dengan memberikan pelayanan terbaik, termasuk keep in touch dengan mereka, berkomunikasi hingga menjadi sahabat dekat yang mengenal mereka dengan baik. Satu customer bisa membawa teman-temannya untuk membeli karya saya. Maka yang terpenting adalah menjaga kualitas produk tetap juara,” ujar Ibu Ning.
Ibu Ning menjelaskan bahwa busana karyanya memang ‘berbeda’ dan tidak pada umumnya. Desainer senior ini menghadirkan metode lukis arkrilik untuk label kedua yang dijual dengan harga lebih terjangkau.
Sedangkan ciri khas Ibu Ning adalah menggunakan metode lukis reaktif dengan uap. Dengan finishing touch berupa uap,
“Lukis reaktif inilah yang menjadikan busana saya exclusive dan expensive. Harganya tiga juta hingga—yang full payet—bisa mencapai lima juta,” terang Ibu Ning.
Ia mengaku tak lagi memproduksi busana lukis reaktif. Ia memahami bagaimana hampir semua orang mengalami keterpurukan ekonomi di saat pandemi, dan membeli busana seharga jutaan rupiah bukanlah langkah bijak. Namun ia bersyukur, ada pelanggan lamanya yang masih mencari koleksi premiumnya tersebut.
Lalu bagaimana geliat IPBM Bandung pascapandemi?
“Dalam waktu dekat, IPBM merencanakan event besar yang didukung oleh Kemenparekraf RI, kami juga sudah menghadap Menteri Sandiaga. Doakan ya,” tutup Ibu Ning.
KOMENTAR ANDA