Tamak atau rakus adalah salah satu sifat manusia yang harus disembilih seiring menyembelih hewan kurban/Net
Tamak atau rakus adalah salah satu sifat manusia yang harus disembilih seiring menyembelih hewan kurban/Net
KOMENTAR

MAKSUDNdari pernyataan “al-Islamu mahjubun bil muslimin” yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh adalah bahwa Islam telah terhalang dalam kemuliaannya oleh umat muslim itu sendiri. Pernyataan ini mencerminkan kritiknya terhadap kondisi umat Islam pada zamannya dan kebutuhan untuk melakukan reformasi dalam pemahaman dan praktik agama Islam.

Dalam konteks pernyataannya, Abduh ingin menyampaikan bahwa Islam adalah agama yang agung dan mulia, tetapi keagungannya terhalang karena kaum muslimin yang tidak menjalankan ajaran-ajaran Islam dengan benar. 

Artinya, penyalahgunaan agama, ketidakpahaman terhadap prinsip-prinsip Islam, dan praktik-praktik yang bertentangan dengan ajaran Islam, telah menyebabkan agama Islam menjadi terhalang dalam mencapai potensi sejatinya.

Kita akan terbantu memahami ucapan itu dengan menyimak pengalaman seorang peneliti asal Barat. Hampir sepuluh tahun dia menghabiskan waktu meneliti pesantren-pesantren di Indonesia. Dia mengikuti berbagai pola kehidupan muslim, bahkan mencoba pula berbagai praktik ibadahnya. Penelitian mengenai ajaran Islam mengantar si bule itu pada pesona mendalam tentang keagungan ajaran Ilahi ini. 

Anehnya, dia terus mengelak tatkala kyai pesantren membujuknya memeluk agama Islam. “Toh, tinggal bersyahadat saja. Bukankah selama ini kamu telah mencoba ibadah Islam.” 

Peneliti asal benua Eropa itu mengakui, dengan ajaran Islam dia sangat terpesona. Namun, setelah melihat tingkah laku umatnya, dia malah menjadi ragu dan tak kunjung tertarik bersyahadat.

Tidak perlu respon berlebihan bila ada yang menyebut sifat kebinatangan masih melekat pada pribadi sebagian besar manusia. Lihatlah, betapa merajalelanya ucapan kasar, gunjing, gosip, fitnah, padahal larangan itu berulangkali ditegaskan Al-Qur'an. Bahkan surat al-Hujurat ayat 12 menyebutnya ibarat memakan bangkai saudara sendiri (hanya binatang yang makan bangkai). 

Karakter kebinatangan yang juga melekat pada manusia, diterangkan surat al-A’raf ayat 176, yang artinya:

Maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya, dia mengulurkan lidahnya (juga).” 

Mereka adalah manusia yang mengerti ayat-ayat Allah, tahu halal haram, tetapi agama itu tidak bersemayam dalam dirinya, sebab akhlaknya telah binasa. Mereka yang menukar kebenaran dengan kekufuran ini, diumpamakan sebagai anjing yang selalu lidahnya terulur karena tidak pernah puas disebabkan ketamakan pada dunia.  

Manusia berkarakter binatang itu juga digambarkan surat al-A'raf ayat 179, yang artinya:

Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat dari itu.”

Al-Qur’an memberikan peringatan yang tegas tentang berbagai karakter buruk yang dapat menghinggapi manusia, termasuk umat Islam. Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup yang sempurna, menggarisbawahi pentingnya menjaga diri kita dari karakter-karakter negatif yang dapat membawa dampak buruk dalam kehidupan.

Mewakili pemikiran di zaman Yunani kuno, Plautus menyebutnya sebagai lupus est homo homini, manusia merupakan srigala bagi manusia lainnya, manusia tak sungkan menerkam manusia lain persis sifat hewan yang dengan gampangnya saling terkam.

Dalam istilah agama, hal-hal itu disebut sifat Bahimiyah, yakni sifat buas dan kejam layaknya binatang buas. Karena memang ketika sifat-sifat Bahimiyah muncul, manusia bahkan bisa bertindak melebihi kebuasan srigala sekalipun. 

Penggunaan perumpamaan ini menyoroti sifat-sifat negatif dalam diri manusia yang dapat muncul, termasuk kekejaman, kebengisan, dan ketidakberpihakan terhadap sesama manusia. Dalam pandangan ini, manusia diberikan peringatan untuk tidak membiarkan sifat-sifat tersebut menguasai diri dan mengingatkan agar menjaga nilai-nilai kemanusiaan serta memperlakukan sesama manusia dengan belas kasihan dan keadilan.

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam bukunya Penawar Hati yang Sakit (2003: 149) mengungkapkan, jenis dosa Bahimiyah seperti rakus dan kejam dalam melampiaskan nafsu syahwat perut atau seksual. Dari sinilah lahir tindak perzinaan, pencurian, memakan harta anak yatim, bakhil, penakut, keluh kesah, dan lain sebagainya. Dosa-dosa itu menjadi pintu masuk menuju kesyirikan, kekufuran, dan tercabutnya sifat Rububiyyah (kebaikan). 

Nah, dalam hitungan beberapa hari lagi, umat Islam akan melaksanakan ibadah kurban, yang mana hewan-hewan tersebut akan disembelih, lalu dagingnya dibagi-bagikan, dan diutamakan bagi fakir miskin. Namun, apakah yang demikian itu hakikat dari ibadah kurban?

Ibadah kurban merupakan simbol teragung, bahwa secara lahiriah kita menyembelih hewan, namun secara batiniah (ini yang paling hakiki) yang mesti disembelih adalah sifat kebinatangan yang bersemayam dalam diri kita. 

Apabila ibadah kurban tidak dilengkapi dengan menyembelih sifat kebinatangan, sesudah berkurban kita malah mengorbankan manusia lain, dengan menyakiti dan merampas hak-hak kemanusiaannya. 

Jangan lupa, saat memotong hewan kurban sekalian kita bersegera menyembelih  sifat-sifat kebinatangan. Seiring terayunnya pisau tajam di leher hewan kurban, kita sembelih pula sifat rakus, egoisme, menerkam kawan, dan sebagainya. 

Mari kita ganti sifat Bahamiyah dengan sifat Rububiyah, yaitu sifat yang mendorong untuk selalu berbuat baik, mengutamakan amal saleh daripada keuntungan pribadi. Memang bagus sekali ibadah memotong hewan kurban. Dan akan lebih sempurna dengan juga menyembelih sifat kebinatangan yang melekat pada diri manusia. 

Tujuan utama kurban adalah mengendalikan dan mengarahkan sifat-sifat manusia, termasuk naluri dan dorongan yang mungkin terkait dengan nafsu kebinatangan, menuju kepada perilaku yang lebih manusiawi. Ini mencakup memupuk kebaikan moral, seperti belas kasihan, keadilan, empati, dan pemahaman terhadap sesama manusia.




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur