IBADAH haji yang sedang dijalankan di tanah suci atau ibadah kurban, yang menjadi poin penting saat nanti Idul Adha, sejatinya merupakan refleksi dari keagungan pengorbanan perempuan. Tokoh utamanya bernama Hajar.
Memang Nabi Ibrahim memegang peranan sangat mulia, tidak seorangpun yang dapat memungkirinya. Akan tetapi, selaku ayah, dia tidak merasakan perihnya melahirkan, dan selaku suami, dia tak merasakan pahitnya perjuangan Hajar yang sendirian mengasuh bayi di sebuah padang tandus, yang tiada air, tiada orang, tiada tumbuhan atau pun penunjang kehidupan lainnya.
Ada yang menyebut Nabi Ibrahim sebagai bapak kota Makkah, tapi Hajar adalah ibu pertiwinya. Keberanian Hajar menjadi pemukim pertama di daratan gersang itu menjadi inspirasi bagi para pemukim lainnya untuk ikut menetap, hingga Makkah berkembang pesat menjadi kota mercusuar di dunia.
Nabi Ibrahim memang seorang utusan Tuhan. Namun, Allah Swt memuliakan Hajar dengan mengabadikan pengorbanan perempuan tersebut menjadi ritual penting ibadah haji. Seperti kita mengenal ritual Sa’I, ibadah tersebut sesungguhnya meneladani Hajar yang lari tujuh kali bolak-balik antara Shafa dan Marwa demi seteguk air untuk bayi mungilnya.
Air Zam-zam telah menghidupi jutaan orang yang berkunjung ke tanah suci, yang keberkahannya memancar abadi, sebenarnya berhulu dari keikhlasan pengorbanan Hajar. Setiap pengorbanan memang berhak menjadi keabadian.
Memang betul bahwa Ismail yang diminta Allah untuk disembelih oleh Nabi Ibrahim. Namun, pengorbanan paling heroik itu justru ditanggung Hajar, tatkala dirinya harus mengikhlaskan buah hati tercinta disembelih tanpa kesalahan apapun.
Kata orang-orang, mudah sekali bagi iblis merasuki hati wanita. Namun, saat menghasut supaya membatalkan pengorbanan Ismail dengan cara menggoda Hajar, iblis malah digebukinya dengan lemparan batu. Sehingga makhluk terkutuk itu pun lari pontang-panting. Kemudian hari keberanian Hajar menumbangkan hasutan iblis itu diabadikan sebagai ibadah melempar jumrah, yang masih bagian dari ritual haji.
Dalam rangkaian panjang pengorbanannya, Hajar telah mengukuhkan diri sebagai wanita perkasa yang amat teruji nyalinya. Setiap kali ibadah haji, setiap kali berkurban, dan setiap kali Idul Adha, maka pengorbanan Hajar akan terus dikenang oleh kaum muslimin.
Hingga era kontemporer, pengorbanan wanita tampil bak gelombang, yang pastinya tidak akan pernah surut. Apalagi hidup di negeri yang serba terbatas ini, kaum hawa seringkali merangkap banyak peran dan sekaligus menanggung risiko yang berlipat ganda. Sehingga kaum perempuan tidak saja dituntut gigih berjuang, tapi juga siap berkorban.
Namun malangnya, dalam perjuangan dan pengorbanannya itu kaum wanita masih sering mengalami diskriminasi hingga pelecehan seksual. Harapan besar atas pengorbanan mereka tidak dibarengi dengan perlindungan yang mumpuni.
Begitu menjalankan peran sebagai istri, malah berhadapan dengan kekerasan rumah tangga. Saat menunaikan peran sebagai ibu, angka kematian ibu melahirkan justru masih sangat besar.
Sering juga wanita diharuskan mengambil alih kendali nafkah, tatkala pria tak kuasa memikulnya. Tapi wanita itu sering terjebak sebagai babu atau pekerja kasar. Malangnya, tiap sebentar kematian pekerja wanita menjadi hiasan berita media massa dan entah bagaimana nasib mereka yang tidak masuk pemberitaan.
Lantas kenapa harus berkorban?
Berkorbanlah, kalau tidak maka kita yang akan menjadi korban dari kelemahan jiwa, bisikan hawa nafsu, serta hasutan setan durjana.
Dalam buku Psikologi Perkembangan Dewasa Muda, Agus Dariyo menjelaskan, proses perkembangan moral wanita, dari semula berorientasi untuk mempertahankan hidup pribadi (orientation of individual survival), ia harus melalui masa transisi dengan melakukan proses dari diri sendiri menuju rasa tanggung jawab.
Setelah transisi itu, wanita akan melangkah ke fase berikutnya, kebaikan sebagai pengorbanan diri (goodness as self-sacrifice). Kebaikan telah menjadi ciri prinsip kehidupannya, dirinya berkorban dari segi waktu, tenaga, ataupun materi (biaya) demi kebaikan orang lain.
Kenyataannya, karena faktor gender, seringkali seorang wanita lebih banyak mengorbankan kepentingannya. Untuk itu, dalam tahapan ini, wanita perlu melakukan transisi, yakni dari kebaikan menuju kebenaran (from goodness to truth).
Perempuan-perempuan tangguh yang jiwa mereka terinspirasi Hajar tentunya tidak asal berkorban. Karena perempuan seperti dirinya mempunyai landasan nilai kebenaran, sehingga pengorbanan sebesar apapun tak pernah membuatnya merasa menjadi makhluk paling malang. Malahan, dirinya menemukan kebahagiaan pada pengorbanan dalam jalan kebenaran itu.
Nilai kebenaran itu adalah nilai tauhid yang diilhamkan Tuhan. Kalau tidak berkorban demi kebenaran, maka kesesatan yang akan menerkam perempuan sehingga terpuruk menjadi korban.
Bagi masyarakat, penting sekali menghargai kemauan perempuan dalam berkorban dan mengapresiasi pengorbanan mereka atas nama kebenaran. Martabat perempuan, seperti martabat manusia pada umumnya, dapat ditingkatkan oleh tindakan-tindakan yang mempromosikan kesetaraan, penghargaan, dan keadilan.
Namun, pengorbanan tidak boleh diharapkan atau dipaksa dari perempuan tanpa memperhatikan pilihan mereka sendiri. Setiap orang, termasuk perempuan, memiliki hak untuk menentukan jalan hidup mereka sendiri, termasuk dalam konteks pengorbanan.
Martabat perempuan bukanlah semata-mata tentang mengorbankan diri, tetapi juga tentang memastikan kesetaraan hak, kesempatan, dan perlakuan yang adil bagi mereka dalam semua aspek kehidupan.
Sangat penting bagi masyarakat dan pemerintah untuk menciptakan lingkungan yang mendukung kemajuan wanita, menghargai kontribusi mereka, dan memberikan kesempatan yang sama bagi semua individu untuk berkembang dan berkontribusi sesuai dengan potensi mereka.
Ketika keadilan terhadap perjuangan dan pengorbanan kaum hawa sudah ditegakkan, insyaallah di alam sana Hajar akan tersenyum bahagia.
KOMENTAR ANDA