Khatera Amiri, perempuan Afghanistan yang berhasil membebaskan diri dari penindasan Taliban/Net
Khatera Amiri, perempuan Afghanistan yang berhasil membebaskan diri dari penindasan Taliban/Net
KOMENTAR

BISA tiba di Indonesia dan menetap di sini adalah suatu anugerah bagi Khatera Amiri. Perempuan asal Afghanistan itu terpaksa menjadi pengungsi setelah Taliban berkuasa dan menculik ibu, saudara laki-laki, dan saudara perempuannya yang baru berusia 8 tahun.

Khatera tiba di Indonesia pada 2016, ia mengajak serta tiga saudaranya, yang termuda berusia 14 tahun. Seperti kebanyakan pengungsi, Khatera melakukan perjalanan ke India dan Malaysia, sebelum akhirnya tiba di Indonesia.

Dirinya tercatat sebagai salah satu dari 12.710 pengungsi yang terdaftar di badan pengungsi PBB (UNHCR). Lebih dari setengah jumlah tersebut berasal dari Afghanistan, khususnya suku Hazara.

Hazara adalah salah satu kelompok etnis terbesar di Afghanistan dan berasal dari dataran tinggi tengah negara itu. Mereka mengatakan telah lama menderita, terutama setelah Taliban berkuasa.

Ya, sejak berkuasa di Afghanistan, Taliban telah mencoba untuk membungkan perempuan. Banyak perempuan yang tidak diperbolehkan kembali ke bangku sekolah untuk mengenyam pendidikan.

Banyak yang tiba di Indonesia dengan harapan bisa naik kapal ke Christmas Island, sebuah wilayah Australia di lepas pantai selatan pulau Jawa. Tetapi, ketika negeri Kanguru itu meluncurkan Operasi Sovereign Borders pada September 2013, dan menerapkan kebijakan imigrasi lepas pantai Pulau Pasifik yang terkenal buruk, banyak pengungsi yang terjebak.

Setibanya di Indonesia, Khatera langsung pergi ke Cisarua, karena di daerah ini telah banyak warga Afghanistan yang menetap. Tetapi, Khatera memilih untuk menjauh, karena ia mengaku mengalami intimidasi dan pelecehan seksual.

“Pada 2016 dan 2017 adalah bencana, penuh tantangan dan kesulitan. Saya tidak akan melupakannya. Tidak ada yang mendukung saya, padahal saya adalah orang tua yang memiliki tanggung jawab atas tiga saudara kandung yang masih kecil. Satu yang saya pelajari, di komunitas asing saya tidak bisa memercayai siapapun,” kenang Khatera, mengutip Al Jazeera.

Bertemu dan bergabung dengan CRLC

Suatu hari, Khatera bertemu dengan salah satu guru Cisarua Refugee Learning Center (CRLC) yang kemudian mengajak dirinya beserta saudara-saudaranya untuk bergabung dan mengikuti kelas. Bagi Khatera, ini adalah tempat pertama yang dirasanya aman sejak melarikan diri dari Afghanistan.

Di CRLC, Khatera belajar Bahasa Inggris, matematika, sains, dan Bahasa Indonesia, yang membuatnya semakin percaya diri.

“Saya menemukan kedamaian di sini, saya menemukan komunitas, saya menemukan versi terbaik dari diri saya. Di sini, perempuan bisa menjadi bos, mereka bisa menjadi guru dan siswa, mereka kuat,” kata perempuan 26 tahun ini.

Keterampilan kepemimpinannya diakui dan dia didorong untuk melamar menjadi seorang guru. Saat ini, dia sedang mengejar program GED yang diajarkan secara online oleh para guru di Australia, yang memungkinkan siswa untuk memperoleh gelar diploma. Dua ujian pertamanya akan diikuti pada akhir tahun ini.




Menutup Tahun dengan Prestasi, dr. Ayu Widyaningrum Raih Anugerah Indonesia Women Leader 2024

Sebelumnya

Meiline Tenardi, Pendiri Komunitas Perempuan Peduli dan Berbagi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Women