SEBENTAR lagi umat muslim akan menjalankan ibadah kurban. Hukum berkurban adalah sunnah muakkad, namun wajib bagi Rasulullah Saw, sebagaimana sabdanya:
“Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk berkurban dan hal itu merupakan sunnah bagi kalian.” (HR At-Tirmidzi)
Kesunnahan dalam hal ini adalah sunnah kifayah, jika dalam keluarga adalah satu dari mereka telah menjalankan kurban maka gugurlah kesunnahan yang lain. Tetapi jika hanya satu orang, maka hukumnya adalah sunnah ‘ain. Sedangkan kesunnahan berkurban ini ditujukan kepada muslim yang merdeka, sudah baligh, berakal, dan mampu.
Ada beberapa muslim yang melaksanakan kurban atas nama keluarga yang telah meninggal dunia. Alasannya, si almarhum atau almarhumah semasa hidupnya belum pernah berkurban.
Sahkah yang demikian?
Imam Muhyiddin Syarf an-Nawawi dalam kitab Minhaj ath-Thalibin dengan tegas menyatakan, tidak ada kurban untuk orang yang meninggal dunia, kecuali semasa hidupnya pernah berwasiat.
“Tidak sah berkurban untuk orang lain (yang masih hidup) dengan tanpa seizinnya dan tidak juga untuk orang yang telah meninggal dunia apabila ia tidak berwasiat untuk dikurbani.”
Jadi, kurban merupakan ibadah yang membutuhkan niat, karenanya niat orang yang berkurban mutlak diperlukan.
“Dengan wasiatnya itu, maka pahala kurban tersebut menjadi miliknya dan seluruh daging kurban diserahkan kepada fakir miskin. Orang yang menyembelihnya dan orang yang mampu, tidak boleh memakannya karena orang yang telah meninggal tersebut tidak memberi izin untuk itu,” kata Ustads Abdul Somad.
Namun, ada pandangan lain yang menyatakan berkurban untuk orang yang telah meninggal dunia hukunya diperbolehkan atau sah. Ini dikemukakan oleh Abu al-Hasan al-Abbadi.
Alasan sahnya adalah bahwa berkurban termasuk sedekah, sedangkan bersedekah untuk orang yang telah meninggal dunia adalah sah dan bisa memberikan kebaikan kepadanya, serta pahalanya bisa sampai kepadanya sebagaimana yang telah disepakati para ulama.
Di kalangan mazhab Syafi’i sendiri, pandangan yang pertama dianggap sebagai pandangan yang lebih shahih (ashah) dan dianuat mayoritas ulama dari kalangan maszhab Syafi’i. Sedangkan pandangan kedua didukung oleh mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali.
KOMENTAR ANDA