Ilustrasi perempuan mandiri/Net
Ilustrasi perempuan mandiri/Net
KOMENTAR

KEMANDIRIAN istri, terutama pada aspek finansial, seperti menjadi harapan kebanyakan suami. Bersyukur jika istri memiliki kapasitas good looking, good cooking dan good banking. Dengan kualitas kemandirian demikian menakjubkan, istri seolah dapat menghadirkan surga dunia dalam rumah tangga. 

Kemandirian ini semestinya menjadi kemajuan yang perlu mendapat dukungan penuh. Jangan jadikan istri ibarat bayi besar yang terus bergantung kepada pihak lain yang di masa lajang bergantung terhadap ayahnya, setelah menikah malah bergantung pada suaminya. Ringkasnya, jangan sampai dirinya menjadi beban bagi siapapun.

Namun, di setiap kelebihan itu ada kecemasan. Tidak sedikit suami yang resah menyaksikan kemandirian tersebut. Keresahan yang menjadikannya tidak seperti suami seutuhnya dan istri semakin sulit dikendalikan.

Cukup unik memang, karena pada kenyataannya banyak suami yang menyambut gegap gempita kemandirian istri mereka. Bahkan, para suami ini malah tidak malu-malu ‘bergantung hidup’ pada istri.

Apapun pilihan kita, ingatlah bahwa kemandirian merupakan hakikat jati diri yang perlu diperjuangkan, tanpa diskriminasi gender tentunya. Setangguh apapun suami, mereka bukanlah Tuhan. Tidak ada jaminan dirinya akan terus berjaya. Kemandirian istri adalah wujud jati diri sebenarnya sebagai hamba Allah.

Lantas bagaimana menyikapi keresahan tersebut?

Muhammad Ali al-Hasyimi dalam bukunya Kepribadian Wanita Muslimah (2019: 155-156) menerangkan, jika kaya, muslimah tidak membiarkan kekayaan dan kemandirian keuangan membuatnya buta dari melihat pentingnya menghargai hak suami yang harus ia tunaikan. 

Ia tetap mengurus dan menghormati, tidak peduli sekaya apapun dirinya sekarang dan nanti. Ia tahu, bahwa ia wajib bersyukur kepada Allah atas rahmat yang diberikan, sehingga meningkatkan sedekah di jalan Allah.

Sebagai seorang muslimah yang kaya, penting untuk tidak membiarkan kekayaan dan kemandirian keuangan membuatnya lupa menghargai hak suami. Meskipun memiliki kekayaan, mengurus dan menghormati adalah bentuk kewajiban. Perempuan harus menyadari, bahwa segala kemandirian harus tegak di atas kesyukuran. 

Pada akhirnya, kemandirian merupakan energi bagi kekuatan diri. Demikianlah alasan kaum perempuan membutuhkan kemandirian yang seutuhnya, supaya mereka benar-benar tangguh mengarungi terpaan badai kehidupan.

Samsriyaningsih Handayani pada Buku Ajar Aspek Sosial Kedokteran: Edisi 2 (2020: 74) menjelaskan, ibu yang mandiri memiliki kemampuan, atau cadangan kemampuan, agar tidak sepenuhnya bergantung pada suami. Kemandirian menjadikan ibu sebagai individu yang survive dan kuat, karena pada kenyataannya posisi perempuan lebih rentan. 

Kemandirian merupakan aspek penting yang lepas dari ‘status perempuan’, subjek sebagai individu bebas menentukan apa yang diinginkan (termasuk dalam bidang kesehatan), bertanggung jawab terhadap pilihan, mampu berbuat sesuatu untuk orang lain. Aktualisasi perempuan sebagai sumber daya dalam masyarakat dan pengembangan diri perempuan ini hanya dapat terjadi dalam situasi kondisi lingkungan masyarakat yang kondusif, yang memang memungkinkan hal tersebut terjadi.

Kemandirian ibu memungkinkan dirinya untuk menjadi sumber daya yang berharga dalam masyarakat. Dengan memiliki kemandirian, wanita dapat mengembangkan dirinya secara penuh, mengoptimalkan potensinya, dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat sekitar. 

Namun perlu diingat, pengembangan diri perempuan ini hanya dapat terjadi dalam situasi yang kondusif, yang mendukung dan memungkinkan perempuan untuk meraih kemandirian secara ekonomi, sosial, dan emosional.

Dalam lingkungan yang kondusif, perempuan memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan, akses ke pekerjaan, dan dukungan sosial yang diperlukan. Ini membantu menciptakan iklim di mana kaum hawa dapat mengembangkan diri, mengambil peran aktif dalam mengambil keputusan, dan meraih kemandirian.

Namun, tidak dapat pula dipungkiri, kemandirian istri yang demikian dashyat dapat juga meresahkan sisi ego segelintir suami. Tetapi, keresahan ini tidaklah menakutkan, karena dapat diatasi dengan beberapa langkah bijak. 

Samsriyaningsih (2020: 74-75) menguraikan, hubungan ibu dengan bapak adalah keinginan dan harapan akan adanya empati, keseimbangan, pengertian, keterbukaan, kemampuan berkomunikasi dan berdiskusi. Kemauan suami untuk bekerja sama, kesamaan pandangan, adanya rasa aman dan penerimaan yang diperoleh dengan suami, serta dukungan moral.

Keseimbangan dalam komunikasi dan partnership, dalam arti suami istri mencoba untuk saling menyesuaikan dan memberikan dukungan pada pasangan, berkaitan dengan rasa aman secara psikologis, karena ada rasa diterima, dimengerti, dipercaya, diarahkan, dibantu, dan untuk selanjutnya membuat individu mampu mencurahkan perhatian yang optimal pada pilihan yang diambilnya.

Dalam manajemen profesional, kemandirian merupakan kebutuhan yang penting. Namun, kemandirian akan menjadi masalah jika tidak sejalan dengan cita-cita berumah tangga. Hal ini juga bukan berarti meremehkan peran suami sebagai pemimpin, tetapi penting diingat bahwa suami bukanlah majikan atau tuan.

Kemandirian tidak sama dengan dominasi. Meskipun suami bertindak sebagai pemimpin, ia tidak dapat mengambil keputusan sendirian. Musyawarah dengan pasangan harus dilakukan untuk mencapai keputusan bersama.

Sebagaimana kemandirian Khadijah didasarkan pada kepatuhan dan kesetiaan yang sempurna. Dia memberikan kesempatan yang luas bagi Nabi Muhammad Saw untuk berdakwah, sementara urusan rumah tangga ditangani sepenuhnya. Ini menunjukkan bahwa kemandirian tidak harus menghalangi kerja sama dan komitmen dalam hubungan suami istri.

Penting untuk diingat bahwa suami tidak selalu sempurna, tidak selalu benar, dan tidak selalu kuat. Ini mengingatkan kita bahwa dalam hubungan suami isri pun tidak ada yang sempurna dan kesalahan dapat terjadi. Oleh sebab itulah, kemandirian istri bukanlah sesuatu yang membimbangkan, karena tugas pasangan adalah saling mengisi dan menguatkan.




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur