Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net
KOMENTAR

BUKANNYA terima disakiti, tapi takut diri menjadi tidak berarti. Itulah yang seringkali dirasakan oleh orang yang mengalami trauma bonding, takut kehilangan dan minimnya rasa percaya diri. Penyebabnya adalah emosi yang telah dimanipulasi oleh pelaku kekerasan.

Trauma bonding merupakan sebuah keterikatan yang tumbuh begitu saja antara pelaku dan korban kekerasan. Penyebabnya adalah manipulasi psikologis dan emosional korban.

Ada banyak cara bagi pelaku kekerasan untuk memanupulasi emosi dan psikologis korban, di antaranya menempatkan korban dalam rasa bersalah untuk hal yang sebenarnya normal (guilt tripping), menjadi sangat posesif dan kecemburuan yang intens (posesif), hingga memberikan kasih sayang yang berlebihan (love bombing).

Siklus trauma bonding ini diawali dengan munculnya ketegangan, di mana tekanan dan ketegangan tumbuh dari peristiwa sehari-hari, bahkan dari konflik yang terjadi. Lalu, timbullah kekerasan, yang tidak hanya berupa fisik tetapi bisa pada kekerasan verbal maupun psikologis.

Setelah melakukan tindakan-tindakan pelecehan maupun kekerasan, secara tiba-tiba pelaku meminta maaf dan menunjukkan penyesalan yang luar biasa. Pelaku bahkan berjanji untuk tidak mengulanginya, dan sebagian memanfaatkan ‘bulan madu’ agar korban percaya bahwa ia tulus meminta maaf.

Selanjutnya, muncullah fase tenang, di mana kejadian kekerasan berhenti sejenak. Pelaku seolah berubah menjadi lebih pengertian, namun hal ini tidak akan berlangsung lama.

Pada awalnya, trauma bonding nampaknya tidak akan berbahaya, namun ternyata kondisi ini bisa berdampak parah pada korban. Faktanya, beberapa penelitian menunjukkan trauma bonding menyebabkan perubahan biologis dan perubahan otak yang mengarah pada gangguan stress pascatrauma (PTSD).

Korban perlu mendapatkan bantuan yang tepat untuk memutuskan ikatan ini. Tetapi hal itu tidak sesederhana memutuskan hubungan, karena efeknya tidak berhenti begitu saja setelah hubungan berakhir.

Mengutip CPTSDFoundation, ada beberapa cara mengatasi trauma bonding yang dialami korban kekerasan.

  1. Pahami dulu trauma bonding dan toxic relationship, karena terkadang korban tidak sadar bahwa ia telah mengalaminya.
  2. Konsultasikan dengan terapis. Seorang terapis yang baik biasanya akan membantu korban meninggalkan hubungan yang toksik, memahami, serta menyembuhkan trauma awal.
  3. Putuskan kontak dengan pelak, ini adalah kata kuncinya.
  4. Fokuslah pada hubungan yang sehat. Korban bisa memulainya dengan bergabung bersama komunitas agama, memiliki hewan peliharaan, menjadi sukarelawan, atau aktivitas lain yang menciptakan hubungan di lingkungan bertekanan rendah.

Lakukanlah hal-hal baru untuk membantu membangun kepercayaan diri kembali dan melepaskan diri dari obsesi kepada pelaku. Memang tidak akan mudah, namun akan sepadan dengan kebebasan yang akan dirasakan setelahnya.




Masakan Mudah Gosong, Sudahkah Bunda Lakukan 6 Langkah Ini?

Sebelumnya

Tips Menikmati Akhir Pekan ‘Anti-Boring’ Bersama Keluarga

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Family