Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net
KOMENTAR

IMAN memiliki hubungan dengan cinta. Apabila ingin mencicipi manisnya iman, maka erat hubungannya dengan pemahaman terhadap makna cinta. Ketika seorang hamba sudah memahami hakikat cinta sejati, maka dirinya akan sampai kepada halawatul iman (manisnya iman).

Tetapi, tidak semua cinta layak menjadi cita rasa dari iman. Dari itulah pelajaran cinta menjadi penting agar manisnya iman benar-benar terasa.

lbnu Qayyim aI-Jauziyyah dalam buku Taman Orang-Orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu (2020: 166) mengungkapkan, cinta itu tidak bisa dipuja secara mutlak dan tidak bisa dicela secara mutlak pula. Cinta bisa dipuja dan dicela menurut pertimbangan kaitannya. Sebab kehendak tergantung kepada apa yang dikehendaki, cinta tergantung kepada apa yang dicintai. 

Selagi apa yang dicintai termasuk sesuatu yang memang Iayak dicintai, atau sebagai sarana untuk mengantarkan kepada apa yang Iayak dicintai, maka cintanya yang berlebih-Iebihan tidak akan dicela, justru dipuji. 

Kebaikan keadaan orang yang mencintai juga tergantung kepada kekuatan cintanya. Maka dari itu kebaikan hamba yang paling besar ialah jika dia mengalihkan semua kekuatan cintanya kepada Allah semata, sehingga dia mencintai Allah dengan segenap hati, ruh dan raganya. Dia menunggalkan kekasihnya dan menunggalkan cintanya. 

Jangan sampai yang terjadi malah cinta yang membuat iman kita memudar. Justru yang terbaik adalah iman yang mengantarkan kepada cinta yang sebenarnya, sehingga mencapai puncaknya berupa manisnya iman.

Pada kitab Shahih Bukhari diterangkan sebuah hadis yang menarik, telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Qatadah dari Anas bin Malik, dia berkata, Nabi Saw bersabda:

Tidak akan mendapatkan manisnya iman sehingga ia mencintai seseorang dan ia tidak mencintainya kecuali karena Allah, dan sehingga ia lebih suka dimasukkan ke dalam api dari pada kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya, dan sehingga Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari pada yang lain.”

Iman memang sangat penting dimiliki setiap muslim sejati. Namun, pengalaman beriman yang terbaik itu apabila mengantarkan kita kepada mencicipi manisnya iman.

lbnu Qayyim aI-Jauziyyah (2020: 167) menjelaskan, Beliau mengabarkan bahwa seseorang tidak akan mendapatkan manisnya iman kecuali jika Allah lebih dia cintai daripada cintanya kepada selain Allah. 

Cintanya kepada Rasul Allah termasuk cintanya kepada Allah. Cintanya kepada seseorang juga termasuk cintanya kepada Allah jika dimaksudkan karena Allah. Jika karena selain Allah, maka akan mengurangi cintanya kepada Allah dan melemahkannya. 

Cintanya itu dianggap benar jika dia membenci apa yang paling dibenci Kekasihnya, yaitu kufur, yang diibaratkan kebenciannya jika dia dilemparkan ke dalam neraka. Tidak dapat diragukan, inilah cinta yang paling agung.

Seseorang sama sekali tidak bisa mendahulukan cintanya kepada diri sendiri dan kehidupannya. Jika dia mendahulukan cintanya kepada Allah daripada cintanya kepada diri sendiri, sehingga jika dia disuruh memilih antara kufur dan dilemparkan ke kobaran api, tentu dia akan memilih yang kedua (dilemparkan ke kobaran api). 

Tidak dapat diragukan bahwa Allah lebih dia cintai daripada cintanya kepada diri sendiri. Cinta seperti ini jauh lebih tinggi dari apa yang didapatkan orang-orang yang dimabuk cinta kepada orang yang dicintainya. Bahkan cinta seperti tidak akan ada bandingannya, karena ini merupakan cinta yang menuntut pelakunya untuk mendahulukan kekasihnya daripada cintanya kepada nyawanya, harta dan anak-anaknya.

Demikianlah cinta yang agung, apabila mengantarkan kepada iman yang sebenarnya, yang tidak pernah menduakan Allah Swt dengan apapun, sehingga manisnya iman dapat dicicipi bersama bingkai cinta sejati.

Aidh bin ‘Abdullah al-Qarni dalam bukunya Manisnya Iman (2021: 17) menjelaskan, jadi penyebab kemanisan iman ialah cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian menyukal orang-orang yang saleh dan benci kembali pada kekafiran sesudah Allah menyelamatkan yang bersangkutan darinya. 

Seorang hamba tidak akan dapat merasakan manisnya iman, kecuali bila beroleh taufik dari Allah hingga dapat menyempurnakan tiga pekerti ini buat dirinya. Barang siapa yang mengurangi sebagian darinya, berarti berkuranglah kemanisan imannya.

Merasakan manisnya iman dapat memberikan ketenangan dan kedamaian batin. Keyakinan kuat pada Tuhan dan mengandalkan-Nya memberikan rasa tenteram dan meminimalisir kekhawatiran serta kecemasan yang mungkin timbul dalam hidup.

Manisnya iman akan memberikan kepercayaan diri yang lebih besar. Ketika seseorang yakin bahwa mereka diperhatikan dan dilindungi oleh kekuatan yang lebih besar, mereka menjadi lebih percaya diri dalam menghadapi tantangan hidup dan mengatasi rintangan. Itulah berkah dari manisnya iman. 

Merasakan manisnya iman juga dapat membawa kebahagiaan yang mendalam. Ketika seseorang memiliki hubungan yang erat dengan Tuhan dan merasakan kasih-Nya, mereka menemukan kebahagiaan yang tidak tergantung pada keadaan materi atau kejadian luar, tetapi dari kedamaian batin yang mendalam.




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur