Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net
KOMENTAR

TAMPILAN perempuan itu memberi kesan tersendiri bagi orang-orang yang pertama berjumpa dengannya. Senyumannya terlalu manis hingga langsung menyentuh sanubari. Orang-orang dengan lekas terperangkap dalam kharismanya. Di berbagai media sosial, beredar foto-foto dirinya yang mendekap erat kitab suci Al-Qur’an di dada. 

Luar biasa! Begitulah ungkapan yang terlontar dari bibir orang-orang yang belum mengenalinya.

Namun mereka terperanjat bukan main, ketika amarah perempuan itu begitu meledak-ledak tatkala keinginannya tidak dipenuhi. Wajah manisnya berubah menyeramkan dan dengan mudahnya mulut perempuan itu melontarkan kata-kata kotor. Orang-orang tidak habis pikir, mengapa kata-kata menjijikkan dengan lancar mengalir dari mulut indahnya?

Ini hanyalah sebuah contoh, sebab bukan wanita itu saja yang mulutnya gemar berkata-kata kotor. Namun, contoh kasus ini semoga mencukupi bagi kita untuk memahami betapa penting menjaga mulut sebaik-baiknya. Terlebih lagi perkataan yang dapat menimbulkan luka yang lebih berbahaya dari sabetan pedang.

Imam Al-Bukhari pada kitab Adabul Mufrad (2019: 159-160) menceritaka, dari Abdul Wahhab, dari Ayyub, dari Abdullah bin Abi Mulaikah, dari Aisyah, bahwasanya telah datang orang-orang Yahudi kepada Nabi dan mereka berkata, “Assamu'alaikum” (kematian/kecelakaan atas kalian).

Aisyah menjawab, “Wa'alaikum wala'anakumullah waghadhiballahu 'alaikum (kematian juga atas kalian dan semoga Allah melaknat dan memurkai kalian).”

Nabi lalu menegur Aisyah, “Pelan-pelan wahai Aisyah, kamu harus bersikap lemah lembut, jangan bersikap kasar dan berkata kotor!” 

Aisyah menjawab, “Tidakkah engkau mendengar apa yang mereka katakan?” 

Nabi berkata, “Tidakkah engkau mendengar apa yang aku katakan? Aku telah membalas ucapan mereka dan balasanku terhadap mereka telah diterima (oleh Tuhan) sedangkan ucapan mereka terhadapku tidaklah diterima.”

Dalam hal ini, Aisyah tidaklah salah karena mereka yang terlebih dulu melontarkan kata-kata kotor. Wajar jika ia membalas setimpal untuk membela kehormatan diri. Hanya saja, Nabi tidak ingin kelembutan istrinya tergerus. Maka, teguran itulah yang merupakan mutiara berharga bagi setiap muslimah, yakni hindarilah perkataan yang menjurus kasar apalagi sampai berkata-kata kotor.

Nabi Muhammad Saw sering sekali menjadi sasaran perkataan kotor. Akan tetapi Rasulullah tidak pernah berubah menjadi pribadi yang kasar, atau sampai mengotori lisan beliau dengan umpatan bergelimang kekejian.

Abu asy-Syaikh al-Ashbahani & Abdullah Mu'alim dalam bukunya Meneladani Akhlak Nabi (2017: 26) menjelaskan, Anas ibn Malik bercerita, Rasulullah Saw bukanlah orang yang suka mencaci ataupun berkata kotor. Dalam menegur salah seorang dari kami, beliau hanya berkata, “Mengapa dia berbuat itu? Taribat yam'inuhu (dia tidak akan beruntung).”

Ibnu Umar meriwayatkan, Nabi Saw tidak pernah berbuat keji ataupun berkata kotor. Beliau pernah bersabda, “Yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya.”

Abu Dzar meriwayatkan, “Demi ayah dan ibuku, Nabi Saw tidak pernah berbuat keji, atau berkata kotor, ataupun berteriak-teriak di pasar.”

Islam tidak memberi tempat bagi kata-kata kotor, bahkan menggolongkannya sebagai sesuatu yang merubuhkan kualitas ketaatan seorang muslim. Dan yang membahayakan, kebencian Tuhan akan menimpa mereka yang lidahnya kotor.

Muhammad Ali al-Hasyimi dalam bukunya Kepribadian Wanita Muslimah (2019: 229) mengungkapkan, muslimah yang mengerti soal akhlak mulia yang diajarkan Islam tidak akan berkata-kata kasar atau kotor, atau menyerang orang lain dengan umpatan dan hinaan karena ia tahu bahwa ajaran moral Islam mengharamkan hal itu. 

Mengumpat dianggap sebagai kefasikan yang mengurangi kualitas ketaatan seseorang terhadap Islam. Di samping itu, seseorang yang berkata-kata kotor amat dibenci Allah. 

Ibnu Mas’ud menceritakan bahwa Rasulullah bersabda, “Mencaci orang muslim itu fasik, sedangkan membunuhnya adalah kafir.”

Pada kesempatan lain Nabi Saw bersabda, “Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang yang berperilaku keji dan berkata-kata kotor.”

Dengan menjaga tutur kata, kita juga membuktikan ketakwaan dan ketaatan kepada Allah. Tuhan menyukai hamba-hamba-Nya yang menjaga lidah dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, kesucian, dan kasih sayang.

Akram Ridha dalam buku Muslimah Pendamping Rasul di Surga (2006: 159) menerangkankan, lawan malu adalah aI-bidza’ah, yakni buruk dalam ucapan dan perbuatan serta kering dalam kata-kata.

Wanita muslimah tidak boleh menjadi orang yang suka berkata kotor dan tidak juga mengundang orang berkata-kata kotor, tidak kasar, dan tidak menyebalkan. Sebab, yang demikian itu merupakan sifat-sifat penghuni neraka. 

Dari Abu Hurairah, dia bercerita, Rasulullah Saw bersabda, “Malu bagian dari iman. Sementara iman itu di dalam surga. Sifat suka berkata kotor termasuk sikap kasar, dan sikap kasar berada di neraka.” (HR at-Tirmidzi)

Tidaklah bijak apabila muslimah mengorbankan dirinya terjerumus ke neraka hanya disebabkan kata-kata kotor yang berhamburan. Jadi, sangat penting bagi seorang muslimah untuk menjaga kata-kata. Dengan istikamah menjaga kata-kata terpuji, maka kita menghindari risiko terjerumus ke dalam perbuatan yang tidak diridai Allah.




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur