NASIB perempuan di masa jahiliah begitu malangnya. Mereka tidak mempunyak hak untuk memiliki, namun sepenuhnya milik dari wali dan suaminya. Pada masa gelap itu, perempuan tidak lebih seperti barang yang bisa dimiliki atau dioper hak miliknya oleh lelaki.
Begitu pula saat mereka memiliki harta benda, maka kaum jahiliah merampas kekayaan itu. Harta benda wanita menjadi milik walinya dan setelah menikah maka harta bendanya dikuasai oleh sang suami.
Dalam kondisi demikian buruk, agama Islam datang mengumandangkan hak memiliki harta benda pada perempuan, yang wajib dihormati oleh siapapun, termasuk oleh wali dan juga suami.
Abdul Aziz Salim Basyarahil dalam Tuntunan Pernikahan dan Perkawinan (1994: 15) menerangkan, suatu perlindungan dan kehormatan yang diberikan oleh Islam bagi perempuan ialah hak untuk memiliki. Pada zaman jahiliah hak ini diabaikan, walinya berhak atas harta miliknya, sedangkan ia sendiri (wanita) tidak berhak membelanjakannya.
Sontak perlindungan ini menimbulkan kekisruhan di kalangan orang-orang jahiliah. Mereka tidak habis pikir, bagaimana bisa ajaran yang disyiarkan oleh Nabi Muhammad justru berani membela hak-hak perempuan yang selama ini mereka rendahkan dan lecehkan.
Namun, agama Islam tetap istikamah di atas nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Sehingga fikih Islam pun mengatur pembelaan dan jaminan atas hak perempuan dalam mengelola hartanya.
Abdul Qadir Manshur pada Buku Pintar Fikih Wanita (2012: 54) menguraikan, sama seperti laki-laki, perempuan memiliki tanggung jawab mengurus harta bendanya. Perempuan juga berhak membelanjakan harta pribadinya. Hanya saja, hak perempuan ini tidak boleh mencederai hak laki-laki sebagai pemimpin keluarga demi terciptanya keseimbangan dan keharmonisan di dalam rumah tangganya.
Dalam Al-Mawsilah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah ditegaskan, perempuan memiliki tanggung jawab penuh dalam mengurus hartanya sendiri. Ia juga berhak membelanjakan hartanya selama dalam batas yang bijak dan wajar.
Ringkasnya begini, jika ada orang yang menghalangi hak perempuan dalam mengelola dan membelanjakan hartanya, maka orang tersebut tergolong manusia yang terkontaminasi oleh virus jahiliah.
Jadi, perbanyaklah bersyukur jika di era modern ini kaum hawa mempunyai kebebasan yang luas untuk memiliki dan mengelola hartanya. Keindahan ini tidak terlepas dari anugerah yang dijamin agama Islam.
Surat An-Nisa ayat 6, yang artinya:
“Lalu, jika menurut penilaianmu mereka telah pandai (mengatur harta), serahkanlah kepada mereka hartanya.”
Bagi para wali hendaknya jujur dengan kenyataan, apabila perempuan itu sudah mempunyai kemampuan akal dalam mengatur hartanya sendiri, maka tidak berhak menghalang-halangi. Begitu pun suami, yang tidak boleh mengekang istri terkait hartanya sendiri. Selama dalam batas yang bijak dan wajar, maka perempuan mempunyai kebebasan dalam membelanjakan harta miliknya.
Lebih lanjut Abdul Qadir Manshur (2012: 54-55) menjelaskan, para fukaha sepakat, boleh bagi seorang perempuan membelanjakan harta bendanya dengan cara transaksi (jual beli) tanpa harus meminta persetujuan dari siapa pun.
Mayoritas fukaha mazhab Hanafi, Asy-Syifi’i, Ibnu al-Mundzir, dan Ahmad juga membolehkan seorang perempuan membelanjakan harta bendanya dengan cara tabarru` (sedekah).
Pendapat terakhir diperkuat sebuah hadis riwayat Tirmidzi. Rasulullah Saw bersabda, “Wahai kaum perempuan, bersedekahlah, meski itu dengan perhiasanmu.” Mereka lalu bersedekah kepada beliau, dan beliau menerimanya tanpa menanyakan asal-muasal harta yang mereka sedekahkan.
Artinya, seorang istri boleh membelanjakan hartanya sendiri, meski tanpa izin suami. Karena itu, seorang suami tidak berhak melarang istrinya membelanjakan harta benda miliknya.
Pernikahan tidak membuat perempuan kehilangan hak-haknya dalam harta kepemilikan. Namun, fikih Islam mengingatkan kebebasan juga memiliki aturan. Maka dalam membelanjakan hartanya, perempuan hendaklah memperhatikan kriteria tabarru’ atau kebaikan, yang salah satunya dengan cara bersedekah.
Sebetulnya, tabarru’ atau cara kebaikan ini luas sekali jangkauannya. Perempuan menggunakan hartanya untuk transaksi bisnis, tergolong tabarru’. Perempuan membantu keuangan rumah tangga suaminya, juga bagian dari tabarru’. Perempuan bersedekah kepada fakir miskin, pun merupakan bentuk tabarru’. Dan lain-lain.
Selama harta miliknya tidak dipakai untuk kemaksiatan atau perbuatan yang melanggar larangan agama, maka hak kepemilikan harta dan membelanjakannya tentulah dalam payung jaminan Islam. Hanya saja, perempuan dituntut bijaksana dalam mengelola hartanya supaya sesuai dengan keridaan Allah.
KOMENTAR ANDA