INDONESIA disebut dalam keadaan darurat diabetes dan obesitas. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi obesitas di kalangan orang dewasa Indonesia meningkat, dari 19,1% menjadi 35,4% pada 2018.
Staf Gizi dan Spesialis Obesitas dari Unicef, Astrid C Padmita, menjelaskan, kenaikan prevalensi tersebut tidak terlepas dari faktor makanan dan lingkungan yang semakin mendukung peningkatan itu.
Beberapa faktor yang menjadi penyebabnya adalah pertumbuhan eksponensial gerai makanan cepat saji, rendahnya akses ke air layak minum, serta buruknya kualitas infrastruktur olahraga publik.
Paparan terhadap iklan makanan dan mnuman yang tinggi gula, garam, dan lemak ikut menjadi sebab masyarakat sulit menerapkan pola makan sehat dan gaya hidup aktif.
Itulah sebabnya mengapa pakar kesehatan dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Tjandra Yoga Aditama menegaskan bahwa cukai minuman berpemanis dalam kemasan pun perlu diterapkan.
“Pada 2009 sampai 2015 saya dan tim sudah banyak membahas penerapan cukai untuk penggunaan gula, garam, lemak (GGL) secara umum dengan melihat dampaknya pada kesehatan dan sudah ada berbagai aturan juga yang dibuat,” jelas Tjandra.
Mantan Dirjen Pengendalian Penyakit Kemenkes RI itu juga menegaskan, minuman berpemanis yang berlebihan menjadi sumber peningkatan kasus diabetes dan obesitas dengan berbagaii dampak negatif pada organ tubuh.
“Terkait obesitas, Kemenkes melaporkan satu dari lima anak usia 5-12 dan satu dari tujuh remaja usia 13-18 mengalami kelebihan berat badan. Prevalansi obesitas dan berat badan berlebih pada anak 5-9 tahun meningkat hingga dua kali lipat selama 10 tahun terakhir,” ungkapnya.
Data lain menyebutkan, Indonesia menempati posisi ketiga di Asia Tenggara dalam konsumsi minuman berpemanis, dengan jumlah sebanyak 20,23 liter per orang per tahun. Di sisi lain, juga ada kecenderungan kelebihan berat badan dan obesitas yang terjadi pada kelompok masyarakat miskin dan perdesaan, termasuk di daerah dengan tingkat stunting yang tinggi.
“Gula, garam, dan lemak yang dikonsumsi masyarakat tidak terkontrol. Ketergantungan pada bahan-bahan makanan tidak sehat itu menurunkan kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi panganan sehat seperti sayur-sayuran dan buah-buahan,” jelasnya.
“Karena itu, pengaturan berupa kebijakan cukai MBDK memang perlu segera dilakukan. Intervensi kesehatan masyarakat secara lebih menyeluruh, komprehensif dari hulu ke hilir, dimulai dari individu hingga kelompok masyarakat secara luas melalui kebijakan publik,” demikian Tjandra.
KOMENTAR ANDA