CEMBURU selalu diidentikkan dengan perempuan. Cemburu yang dalam Bahasa Arabnya disebut ghiroh memang diminan dimiliki kaum hawa. Asal dari sifat cemburu bukanlah hasil usaha dari si wanita, tetapi wanita memang diciptakan dengan sifat tersebut.
Salahkah rasa cemburu itu? Tentu saja, tidak!
Cemburu pada tempatnya adalah suatu keutamaan yang dapat menanamkan cinta, utamanya pada hubungan suami istri. Oleh karenanya, seorang suami tidak boleh asal meluruskan kesalahan atas kecemburuan sang istri dan wajib memakluminya jika masih dalam Batasan wajar.
Para sahabat nabi dulu begitu menjaga istri-istri mereka. Tidak dibiarkan istri-istri tersebut dipandang oleh mata-mata yang syahwat, apalagi sampai tersentuh. Mereka mewajibkan para perempuan untuk mengenakan perhiasan rasa malu dan ‘iffah (menjaga kehormatan dan harga diri).
Merupakan suatu aib bagi mereka bila perempuan keluar rumah tanpa memakai kain penutup seluruh tubuh. Dan suatu cela apabila ada lelaki lain yang berbicara dengan wanitanya. Itulah cemburu pada kaum lelaki.
Perbuatan dan sifat cemburu para sahabat nabi ini bukanlah sekadar tradisi dan budaya yang patut dicontoh. Namun, demikianlah yang diinginkan oleh agama, ghirah yang tetap menjaga kemuliaan dan memelihara ahlak mereka.
Coba kita mengingat kisah sahabat yang mulia Sa’ad bin ‘Ubadah ra. Lihat bagaimana beliau mengungkapkan rasa cemburunya kepada sang istri. Dia berkata:
“Seandainya aku melihat seorang laki-laki bersama istriku, niscaya aku akan memukul laki-laki itu dengan pedang.”
Mendengar penuturan Sa’ad, Nabi Muhammad Saw pun bersabda:
“Apakah kalian merasa heran dengan cemburunya Sa’ad? Sungguh, aku lebih cemburu daripada Sa’ad dan Allah lebih cemburu dariku.” (HR Bukhari)
Kisah lain dari sahabat nabi, Abdullah bin ‘Abbas ra yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan lainnya, disebutkan bahwa tatkala turun ayat dalam surat An-Nur ayat 4, yang artinya:
“Dan orang-orang yang menuduh wanita baik-baik berzina dan kemudian mereka tidak dapat menghadirkan empat saksi, maka hendaklah kalian mencambuk mereka sebanyak delapan puluh cambukan dan jangan kalian terima persaksian mereka selama-lamanya.”
Sa’ad bin ‘Ubadah lalu mengatakan:
“Apakah demikian ayat yang turun? Seandainya aku dapatkan seorang laki-laki berada di paha istriku, apakah aku tidak boleh mengusiknya sampai aku mendatangkan empat saksi? Demi Allah, aku tidak akan mendatangkan empat saksi sementara laki-laki itu sudah puas menunaikan hajatnya.”
Mendengar ucapan Sa’ad, Rasulullah berkata:
“Wahai sekalian orang-orang Anshar, tidakkah kalian mendengar yang diucapkan oleh pemimpin kalian?”
Orang-orang Anshar pun menimpali:
“Wahai Rasulullah, janganlah engkau mencelanya karena dia orang yang sangat pencemburu. Demi Allah, dia tidak ingin menikah dengan seorang wanita pun kecuali bila wanita itu masih gadis. Dan bila dia menceraikan seorang istrinya, tidak ada seorang laki-laki pun yang berani untuk menikahi bekas istrinya tersebut karena sangat cemburunya.”
Sa’ad ra berkata:
“Demi Allah, sungguh aku tahu, wahai Rasulullah, bahwa ayat ini benar dan datang dari sisi Allah, akan tetapi aku hanya takjub (heran).”
Dalam hal ini, ghirah dengan selalu berprasangka buruk kepada pasangan, sehingga harus mengintai siang malam guna mencari-cari kesalahannya, maka Allah berfirman:
“Jauhilah oleh kalian dari kebanyakan prasangka karena sebagian prasangka itu dosa.” (Qs Al-Hujurat: 12)
Rasulullah Saw juga bersabda:
”Hati-hati kalian dari prasangka, karena prasangka itu adalah pembicaraan yang paling dusta.” (HR Bukhari).
KOMENTAR ANDA