SELESAI menunaikan salat, ibu muda itu malah menjadi cemas. Entah bagaimana, ternyata pada pakaian yang dikenakannya terdapat bercak najis. Padahal ketika tadi berwudu, dirinya sudah memeriksa pakaiannya luar dalam dan meyakini tidak ada secuilpun najis yang menempel.
Sementara, raut muka petugas bus umum sudah mulai kesal. Dari tadi dia berteriak-teriak memanggil penumpang untuk melanjutkan perjalanan ke kota lain. Apa mau dikata, ibu muda itupun bergegas menaiki bus dan melaju kencang dalam pikiran nan galau.
Pertanyaannya, bagaimana dengan salat yang sudah ditunaikannya?
Syaikh Ahmad Jad dalam kitab Fikih Sunnah Wanita (2010: 103) menjelaskan, Adapun syarat-syarat sahnya shalat adalah suci badan, pakaian, dan tempat, baik dari hadas maupun najis. Mengetahui masuknya waktu salat, menghadap kiblat, dan menutup aurat.
Dari penjelasan ini, wajar apabila ibu muda tersebut menjadi gundah gulana. Kendati sedang dalam perjalanan jauh, dia masih berjuang menunaikan ibadah wajib dan sangat disayangkan bila salatnya menjadi tidak sah.
Namun, agama Islam tidak pernah memberatkan para pemeluknya. Inilah agama Ilahiah yang sangat manusiawi dan memberikan kebijakan yang luas.
Abu Malik Kamal ibn Sayyid Salim pada bukunya Fikih Sunnah Wanita (2013: 100) menyebutkan, apabila Anda melaksanakan salat dengan membawa najis sementara tidak mengetahuinya, maka salatnya sah dan tidak wajib untuk mengulanginya. Namun apabila Anda mengetahui tentang najis itu, jika bisa menghilangkannya sambil salat, maka hilangkanlah dan sempurnakanlah salat Anda. Namun jika tidak bisa dihilangkan, maka tidak ada dosa.
Fikih Islam menegaskan, najis adalah sesuatu yang kotor dan dianggap tidak suci bagi siapapun yang terkena olehnya. Ketika seseorang sedang bersuci atau dalam keadaan suci, salatnya dianggap sah dan diterima oleh Allah. Namun jika ada najis pada tubuh atau pakaian seseorang saat salat, apakah salatnya tetap sah?
Menurut mayoritas ulama, jika seseorang melaksanakan salat dengan membawa najis pada tubuh atau pakaiannya tanpa mengetahuinya, maka salatnya tetap sah. Sebab, Allah tidak membebani seseorang dengan apa yang tidak bisa mereka kendalikan.
Terpujilah sikap sang ibu muda yang masih peduli dengan secuil najis yang tidak diketahuinya. Dan dirinya tidak perlu cemas lagi, sebab insya Allah ibadah yang dikerjakannya mendapatkan posisi mulia di hadapan Ilahi.
Namun, yang disayangkan adalah orang-orang yang sengaja tidak salat karena kurangnya pengetahuan tentang najis. Misalnya, bajunya yang sudah teramat lusuh atau basah oleh peluh membuat orang tersebut tidak mengerjakan salat, padahal kondisi itu bukan najis.
Ahmad Sarwat dalam bukunya Seri Fiqih Kehidupan 3: Shalat (2017: 486) mengungkapkan, dalam kasus tertentu memang seringkali yang dijadikan kambing hitam adalah masalah pakaian yang sudah kumal dan bau keringat. Seolah-olah kumal dan bau keringat adalah najis, padahal tidak.
Kalaupun seseorang terkena najis pada pakaiannya, maka ada begitu banyak alternatif yang bisa dilakukan, salah satunya dengan mencuci secara lokal pada bagian yang nyata-nyata terkena najis.
Cara lain adalah melepas pakaian itu apabila hendak salat. Katakanlah yang kita anggap terkena najis itu celana dalam, maka silakan salat dengan melepas celana dalam. Dan salat tetap sah walaupun dikerjakan tanpa memakai celana dalam.
Agama Islam memberikan keringanan termasuk dalam menunaikan ibadah salat. Namun, bukan berarti keringanan itu dipahami dengan meninggalkan kewajiban ibadah lima waktu tersebut.
Salat tetaplah wajib ditunaikan tanpa perlu terhambat oleh najis sekalipun. Oleh sebab itulah diperlukan pengetahuan mendalam terkait syarat sah salat yang berhubungan dengan najis tersebut.
KOMENTAR ANDA