AKHIRNYA, kafilah dagang yang dipimpin Abu Sufyan berhasil meloloskan diri dari sergapan kaum muslimin. Mereka sedang menempuh perjalanan pulang menuju Makkah melalui jalur pesisir laut. Dari itulah Abu Sufyan berkirim sepucuk surat, bahwa pasukan bersenjata Quraisy lebih baik dipulangkan ke Makkah, sebab kafilah dagang mereka telah selamat. Namun, surat itu ditanggapi secara emosional.
Ath-Ṭhabari dalam bukunya Muhammad di Makkah dan Madinah (2019: 431) menceritakan:
Ketika Abu Sufyan bin Harb merasa telah berhasil menyelamatkan kafilah dagangnya, ia menulis surat kepada orang-orang Quraisy. Dalam suratnya ia berkata, “Sesungguhnya, kalian keluar dari Makkah ialah untuk melindungi unta-unta kalian, orang-orang kalian, dan harta kekayaan kalian. Oleh karena itu, pulanglah kalian.”
Mengetahui hal itu, Abu Jahal berkata, “Kita tidak akan pulang sebelum tiba di Badar. Kita akan tinggal di sana selama tiga hari. Di sana pula, kita akan menyembelih unta, memberi makan kepada orang-orang, meminum minuman keras, dan para penyanyi bernyanyi untuk kita. Orang-orang Arab akan mendengar kita, perjalanan kita, dan kekompakan kita. Sehingga, mereka senantiasa takut kepada kita. Silahkan, teruskan perjalanan kalian!”
Betapa congkaknya Abu Jahal. Baginya peperangan terdengar lebih menggiurkan, bahkan dirinya mempersiapkan pesta besar demi menjulangkan pamor suku Quraisy di segenap jazirah Arabia. Abu Jahal terlalu yakin dengan kekuatan pasukan Quraisy yang dikiranya akan dengan mudah melumatkan Nabi Muhammad dan para pengikutnya.
Namun, Al-Akhnas bin Syariq dari Bani Zuhrah tidak setuju dengan kecongkakan Abu Jahal. Dia hanya berpegang kepada misi awal menyelamatkan kafilah dagang. Kini misi itu telah usai, sehingga dirinya tidak mau mengikuti misi congkak Abu Jahal.
Ketika berada di Al-Juhfah, Al-Akhnas berseru supaya kaumnya kembali ke Makkah tanpa perlu takut dicap pengecut oleh Abu Jahal. Bani Zuhrah yang berjumlah 300 orang mengikuti Al-Akhnas kembali ke Makkah. Kekuatan pasukan Quraisy tersisa 1.000 orang, masih terlalu digdaya bagi kaum muslimin.
Sementara itu, Nabi Muhammad hanya disertai oleh 300 orang pasukan muslimin dengan kondisi yang memprihatinkan. Mereka berangkat hanya mengandalkan 70 ekor unta. Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Abdurrahman bin Auf bergantian menunggangi seekor unta. Nabi Muhammad pun rela bergantian unta dengan Ali bin Abi Thalib dan Martsad bin Abi Martsad. Perjalanan melintasi padang pasir panas membara sejauh 155 km lebih banyak ditempuh berjalan kaki, tidak terkecuali Rasulullah.
Perasaan pasukan muslimin pun berkecamuk, sebab musuh yang dihadapi sangatlah besar. Sementara, keuntungan materi yang diincar dari kafilah dagang juga telah raib. Kini, hanyalah kualitas iman yang menjadi energi bagi gerak juang pasukan Rasulullah. Mereka menapaki peperangan murni demi membela agama semata. Semua yang terjadi adalah rahasia Ilahi, bahwa kaum muslimin ditakdirkan berjihad demi Islam.
Posisi Nabi Muhammad dan kaum muslimin sangat dilematis, maju kena mundur kena. Seandainya berpikir mundur ke Madinah, maka situasi akan memburuk. Kaum Yahudi dan kalangan musyrikin Madinah akan menjadikan kaum muslimin bahan tertawaan, karena dipandang sebagai pengecut. Sedangkan pihak Quraisy bukan saja akan berbangga-bangga, tapi juga menyulut ambisi mereka hendak menggempur Madinah secara langsung.
Sebagai pemimpin yang bijaksana, Nabi Muhammad Saw meminta pendapat para sahabat. Komentar mereka akan menjadi gambaran kekuatan hati para pengikutnya menghadapi kondisi sulit.
Imam Ibnu Katsir dalam bukunya Kisah Para Nabi (2011: 611) mengungkap, AI-Hafizh Abu Bakar bin Mardawaih meriwayatkan, dari Ali bin Husein bin Ali, dari Abi Hatim ar-Razi, dari Muhammad bin Abdillah al-Anshari, dari Humaid, dari Anas, ia berkata, ketika Rasulullah hendak memutuskan untuk bertempur di perang Badar, beliau meminta pendapat kaum muslimin tentang itu. Pertama kali yang dimintakan pendapatnya adalah Umar, dan kemudian kaum muslimin, lalu salah satu dari kelompok Anshar berkata kepada kelompoknya, “Wahai sekalian kelompok Anshar, Rasulullah menginginkan kalian.”
Lalu mereka menjawab, “Jika demikian, maka kami tidak akan mengatakan kepada beliau seperti yang dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa, ‘Karena itu pergilah engkau bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua. Biarlah kami tetap (menanti) di sini saja.’ Wahai Rasulullah, demi Tuhan yang mengutusmu dengan sebenar-benarnya, seandainya engkau mengajak kami untuk berperang di daerah Barkul Gimad pun kami akan mengikutimu.”
Pendapat kaum Muhajirin tidak diragukan lagi. Mereka telah membersamai Rasulullah menanggung rentetan siksaan pedih yang ditimpakan kaum Quraisy selama di Makkah. Perang tidak akan menggetarkan nyali mereka, justru kesempatan bagi kaum Muhajirin berhadap-hadapan dengan musuh secara ksatria.
Sedangkan kaum Anshar yang merupakan pribumi Madinah sebelumnya tidak punya kisah perjuangan bersama Rasulullah, dan kini tiba-tiba saja mereka harus berperang. Kaum Anshar inilah yang mengalami ujian hati yang terberat. Sehingga pendapat mereka sangat diharapkan.
Salah seorang pemimpin kaum Anshar, Sa’ad bin Mu’adz, berbicara dengan gagahnya, “Demi Zat yang mengutusmu dengan kebenaran, andai pun engkau membawa kami ke lautan lalu engkau menyeberang, tentu kami pasti ikut menyeberang bersamamu, tidak akan ada seorang pun di antara kami yang tidak ikut serta. Kami sedikit pun tidak merasa enggan untuk kau pertemukan dengan musuh esok hari, kami akan bersabar dalam peperangan, tulus dalam berhadapan dengan musuh, semoga Allah berkenan memperlihatkan aksi-aksi kami yang bisa membuatmu senang. Silahkan engkau membawa kami maju berperang dengan berkah Allah.”
Betapa gagahnya tuturan yang disampaikan Sa’ad bin Mu’adz. Maka, legalah hati Rasulullah karena dalam perkara membela agama Islam kaum Anshar ikhlas mempertaruhkan nyawa mereka.
Kemudian derap langkah perjuangan laskar muslimin terus melaju hingga tiba di Badar pada malam hari. Kubu musuh juga telah tiba dengan jumlah pasukan melimpah dan dukungan logistik yang mencengangkan.
M. Fethullah Gulen pada bukunya Cahaya Abadi Muhammad Saw. Jilid 2 (2013: 159) menjelaskan, Hubab bin Mundzir bin Jamuh berkata, “Wahai Rasulullah, apakah kau yang menentukan tempat ini? Apakah ini adalah tempat yang ditentukan Allah untukmu, kalau begitu kami tidak akan maju atau mundur dari sini, ataukah pemilihan tempat ini sekadar pendapatmu sebagai siasat perang?”
Rasulullah menjawab, “Ini adalah pendapatku sebagai siasat perang.”
Hubab memberi saran, “Wahai Rasulullah, ini bukanlah tempat yang tepat. Perintahkanlah pasukan untuk bergerak ke dekat sumur kaum anu, di situlah tempat pasukan kita. Di tempat itu kita gali sebuah lubang yang kemudian diisi air agar kita dapat tetap minum sementara musuh tidak dapat minum.”
Nabi Muhammad membuka dirinya atas masukan berharga dari sahabatnya. Saran Habab sangat bagus untuk daya tahan pasukan muslimin.
Dan malam itu, Allah menurunkan hujan dan rasa kantuk sehingga kaum muslimin pun dapat tertidur nyenyak, mendapatkan istirahat yang mencukupi demi perang berat esok hari.
Sementara itu, Nabi Muhammad menunaikan salat malam dan bermunajat di dekat pangkal pohon. Beliau menyadari perang esok hari akan sangat menentukan bagi masa depan dakwah agama Islam.
KOMENTAR ANDA