SEBAGAIMANA alam yang senantiasa berubah, internet juga terus bertransformasi. Bukan sekadar sebagai sumber informasi atau sarana komunikasi, internet menjelma menjadi suatu budaya yang besar sekali pengaruhnya. Coba bayangkan, bagaimana bisa manusia modern hidup tanpa internet?
Saat ini, internet menjadi rujukan berpikir, bersikap, bahkan berinteraksi. Namun kemudian, dalam belantara internet itu berkembang budaya sentimen kebencian yang dalam Bahasa kerennya disebut hatters.
Ada beberapa alasan yang memunculkan budaya tersebut, yaitu:
Pertama, kebebasan ekspresi
Internet membuka seluas-luasnya ruang berekspresi yang seringkali tidak terkendali. Kebebasan ekspresi kebablasan ini yang menjadi penyubur merebaknya wabah kebencian.
Kedua, polarisasi
Internet menyediakan fasilitas dalam membentuk kelompok, sehingga berujung polarisasi “kamu vs kami”. Tanpa disadari, kubu-kubuan itu menciptakan perang kebencian yang menyedihkan. Dalam budaya internet, perbedaan tidak lagi dihargai tapi dikeroyok beramai-ramai demi memaksakan pendapat dirinya atau golongannya.
Ketiga, faktor sensasi
Internet secepat kilat menyebarkan atau memviralkan hal-hal sensasional. Konten-konten kontroversial lebih kencang penyebarannya dibanding cerita dari mulut ke mulut. Kabar palsu, berita dusta, konten hoaks, lekas tersebar kemudian menjadi sengketa permusuhan.
Keempat, dampak emosional
Internet lebih piawai mengaduk-aduk emosi. Komentar-komentar dengan secepatnya dikirim, bahkan tanpa memikirkannya terlebih dulu. Reaksi emosional yang panas itu pada akhirnya membuka lebih luas medan kebencian.
Islam memiliki potensi besar untuk membantu dalam mengatasi merebaknya budaya kebencian di dunia internet. Dengan mengedepankan nilai-nilai toleransi dan etika berkomunikasi yang baik, umat muslim dapat berkontribusi dalam menciptakan lingkungan daring yang lebih harmonis dan bermartabat.
Dalam era di mana informasi dapat menyebar dengan cepat, mempraktikkan prinsip-prinsip Islami dalam interaksi online adalah langkah penting menuju dunia maya yang lebih baik.
Pada sebuah hadis diterangkan, Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah dia berkata baik atau diam.” (HR Bukhari dan Muslim)
Imam An-Nawawi pada kitab Syarah Hadits Arba'in (2006: 189) menerangkan, lbnu Hajar Al-Atsqalani mengatakan, ini merupakan bagian dari jawahirul-kalim (kalimat yang menghimpun segala hal: kalimat yang menyeluruh). Sebab, semua perkataan itu bisa berupa kebaikan, keburukan, atau yang cenderung pada salah satu dari keduanya.
Termasuk dalam katagori kebaikan adalah segala bentuk perkataan yang dituntut, baik yang berupa sunah maupun fardu atau sesuatu yang membawa pada kebaikan. Sedangkan selain itu, yang merupakan keburukan atau sesuatu yang membawa pada keburukan maka Nabi memerintahkan diam ketika seseorang itu terbetik untuk mengucapkannya.”
Diam itu bukan saja menutup mulut rapat-rapat, melainkan juga diam dalam berkomentar di dunia maya. Apabila menimbulkan mudarat, menebar kebencian, maka tidak perlu berkomentar atau membuat status. Lebih baik jika kita diam saja daripada menjadi bagian dari mewabahkan virus kebencian.
Imam An-Nawawi (2006: 190) mengutip penjelasan dari Imam Syafi’i yang mengatakan, makna hadis ini adalah jika seseorang itu hendak berbicara, hendaklah dia berpikir terlebih dulu; jika sekiranya pembicaraan itu tidak menimbulkan mudarat maka silahkan saja dia berbicara; dan sekiranya ada mudarat jika dia berbicara atau ada kesangsian tentang hal itu, maka lebih baik dia menahan diri.”
Lantas, apakah petuah Rasulullah itu masih relevan dengan budaya internet ini?
Secara umum, yang dituju oleh hadis Rasulullah tersebut adalah:
- Berpikir sebelum berkomentar. Ini bertujuan untuk menghindari perkataan yang tidak terencana, hingga bisa menyinggung atau menimbulkan salah kaprah.
- Menghindari kerugian. Jika komentar atau konten yang akan disebar tidak membawa manfaat dan justru bisa menyebabkan kerugian, maka lebih baik untuk diam saja.
- Menyaring kata-kata. Ini membantu mencegah konsekuensi yang tidak diinginkan dan menjaga hubungan baik dengan pihak-pihak lain.
Prinsip-prinsip ini mencerminkan etika komunikasi yang sesuai dengan tuntunan Nabi. Berpikir sebelum berbicara, mempertimbangkan dampaknya, dan menghindari perkataan yang bisa merugikan, adalah langkah-langkah penting untuk membangun hubungan yang sehat dan saling menghormati dengan pihak lain.
Dalam hadis ini, Nabi Muhammad memberikan petuah pentingnya berbicara dengan kata-kata yang baik atau memilih untuk diam. Hal ini merupakan bagian dari etika berkomunikasi yang Islami, di mana tujuannya adalah untuk menjaga rasa saling menghormati dan menghindari konflik yang dapat menyebabkan kebencian. (F)
KOMENTAR ANDA