PENGGUNAAN bahasa daerah pada industri film terhitung masih sedikit jumlahnya.
Terlebih di era perkembangan teknologi yang semakin hari semakin pesat, perfilman tanah air seakan mengikis sisi kedaerahan, termasuk dalam soal bahasa.
Oleh karena itu, Festival Film Wartawan Indonesia atau FFWI mengadakan webinar membahas mengenai penggunaan bahasa daerah dalam film Indonesia, Selasa (15/8) kemarin.
“Jika kedaerahan kita terkikis, kita akan menjadi manusia yang lupa pada akar budaya!” ujar sutradara, dan penulis skenario Bayu “Skak” Eko Moektito.
Youtuber yang juga Komedian ini mengaku bangga dan sangat percaya diri untuk memproduksi film berbahasa daerah.
Menurut dia, bukan semata-mata karena film terdahulu seperti Yo Wes Ben berhasil meraih jumlah penonton sampai ratusan ribu. Lebih dari itu, film berbahasa daerah bisa ikut melestarikan penggunaan bahasa daerah.
”Saya bersyukur masih bisa berbahasa Jawa halus. Anak- anak generasi Z sekarang ini berbahasa Jawa dicampur dengan bahasa Indonesia,” ujarnya.
Karena itu dia mengajak sineas dan para produser film terus meningkatkan produksi film berbahasa daerah.
Sementara itu, dari webinar terungkap, adat dan budaya beragam yang unik menjadi sumber cerita berbagai genre film, termasuk bahasa daerah.
Wacana mengangkat film berbahasa daerah tidak saja terkait untuk kepentingan komersial, tetapi juga sebagai hiburan. Hal ini karena ada istilah atau dialek daerah yang bisa memunculkan tawa penonton.
Lebih dari itu, penggunaan bahasa daerah dalam film sekaligus satu cara untuk melestarikan bahasa daerah yang kian teralineasii dalam cakap pergaulan generasi Z.
Selain Bayu, webinar juga dihadiri narasumber lainya, Susi Ivvaty, peliput bidang seni dan film yang kini aktif di Tradisi Lisan.
Film yang sudah menggunakan bahasa daerah, antara lain, "Arisan! (The Gathering)" (2003), yang menggunakan bahasa Jawa, “Filosofi Kopi “(Filosofi Kopi) (2015) menggunakan bahasa Sunda, "Tarian Lengger Maut" (2022) berbahasa Bali.
KOMENTAR ANDA