Kemerdekaan dan kebebasan sejatinya milik siapa saja, namun hal itu belum dirasakan sepenuhnya oleh perempuan-perempuan Indonesia/Net
Kemerdekaan dan kebebasan sejatinya milik siapa saja, namun hal itu belum dirasakan sepenuhnya oleh perempuan-perempuan Indonesia/Net
KOMENTAR

INDONESIA sudah memasuki usia kemerdekaan yang ke-78. Tetapi, kemerdekaan rakyatnya, terutama para perempuan Indonesia, belum sepenuhnya terwujud. Hingga tahun ini, pelecehan seksual dan kekerasan fisik maupun psikis yang terjadi pada perempuan, bagai gunung es yang tak kunjung mencair.

Komisioner Komnas Perempuan Theresia Sri Endras Iswarin mengungkap, menilik survey nasional Koalisi Ruang Publik Aman pada November hingga Desember 2021, dengan total responden sebanyak 4.236 orang, ditemukan masih ada 3.596 perempuan Indonesia yang mengalami pelecehan seksial di ruang publik, dan 23 persen terjadi di transportasi umum.

Lain lagi yang dilaporkan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Dari data yang dikumpulkan di kota Jakarta, telah terjadi peningkatan kasus kekerasan seksual di transportasi umum dan fasilitas umum. Melirik data statistiknya pada 2020, ada tujuh kasus kekerasan yang kemudian meningkat 1 kasus pada 2021 dan semakin melonjak di periode Januari hingga Juli 2022, yaitu sebanyak 15 kasus.

Salah satu kasus yang mendapat perhatian khusus publik adalah pemerkosaan yang dilakukan driver ojek online (ojol) Wangkadasi Dever kepada seorang warga negara asing asal Brasil, berinisial GWL. Kasus pelecehan tersebut terjadi di Bali dan tengah ditangani oleh Polresta setempat.

Melihat fenomena gunung es ini, Theresia kemudian menekankan pada pentingnya survey terbaru terkait pelecehan seksual, terutama di tempat umum. Karena, sampai saat ini masih banyak korban yang tidak banyak melaporkan kejadian-kejadian tersebut.

Di sinilah perlunya penanganan yang terukur dari apparat penegak huku, karena itu menjadi satu-satunya cara tepat untuk menyelesaikan permasalahan. Harusnya hal ini menjadi mudah, karena Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah disahkan.

Untuk para penegak hukum Theresia berharap, untuk tidak menerapkan restorative justice dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Restorative justice merupakan alternatif penyelesaian perkara tindak pidana yang dalam mekanisme tata cara peradilan pidana, berfokus pada pemidahaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait.




Kementerian Agama Luncurkan Program “Baper Bahagia” untuk Dukung Ketahanan Pangan Masyarakat Desa

Sebelumnya

Fitur Akses Cepat Kontak Darurat KDRT Hadir di SATUSEHAT Mobile

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel News