UNTUK dapat menghasilkan sebuah karya puisi yang bagus, salah satu hal yang perlu dilakukan penyair adalah melakukan riset atau pengamatan mendalam terhadap obyek yang akan ditulis. Sayangnya, sekarang ini sedikit sekali penyair yang melakukannya.
Pakar Budaya dari Unibersitas Indonesia Ibnu Wahyudi menyampaikan hal tersebut saat diskusi peluncuran antopologi puisi Ketika Jakarta Tak Lagi Menjadi Ibu Kota Negara di ruang Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Kamis (24/5).
“Para penyair perlu memahami dan menghayati aspek-aspek yang akan ditulisnya. Itulah mengapa perlu riset pribadi secara mendalam. Tanpa itu, sulit dihasilkan karya puisi yang mencerminkan objek penulisannya,” ujar Ibnu.
Menurut Wina Armada Sukardi, juga seorang penyait, ada tiga elemen yang perlu dipenuhi dalam menulis karya puisi. Pertama, penyait perlu benar-benar menyadari bahwa mereka sedang menulis puisi, bukan prosa. Konsekuensinya, dalam pemilihan dan penyususnan kata serta struktur kalimar, sejak awal sudah diniatkan untuk karya puisi.
“Masih banyak karya puisi yang ditulis tak beda dengan karya prosa. Memang, ada juga puisi yang prosais, tapi penulisannya tetap harus memenuhi kaidah-kaidah puisi,” tegas Wina.
Kedua tentang pemaknaan. Sebaiknya, sebuah puisi mengandung substansi gagasan yang kuat, baik yang bersifat filosofis, renungan, ataupun estetis. Tapi belakangan ini, banyak puisi yang ‘zong’ alias tidak memiliki kandungan nilai yang berarti.
Ketiga, mengutip Presiden Penyair Indonesia Sutardji Chalzoum Bahri, puisi haruslan menunjukkan identitas diri penulisnya, DNA penulisnya.
“Sekarang, sulit menemukan penyair yang berupaya menunjukkan jati dirinya ini, karena hanya memamah biak dari yang sudah banyak dilakukan oleh penyait sebelumnya,” ucap Presiden Festival Film Wartawan Indonesia, yang sudah lebih dari 45 tahun berprofesi sebagai jurnalis.
KOMENTAR ANDA