Pentingnya pemuka agama mengambil peran dalam konsultasi pranikah untuk menekan angka KDRT/Net
Pentingnya pemuka agama mengambil peran dalam konsultasi pranikah untuk menekan angka KDRT/Net
KOMENTAR

KEKERASAN dalam rumah tangga (KDRT) selalu menjadi topik hangat untuk dibahas dan diperhatikan, mengingat setiap tahun angkanya selalu tinggi. Korban paling banyak adalah perempuan dan anak, sehingga penting untuk mengatasi permasalahan ini dengan serius.

Konseling atau pembekalan pranikah dianggapp menjadi langkah awal untuk mencegah KDRT. Sebab dengan konsultasi diharapkan pemahaman agama yang mengsubordinatkan perempuan sebagai objek seksual dan alat reproduksi, dapat diluruskan.

Begitu pemaparan tujuh tokoh agama yang hadir dalam dialog Kampanye KDRT yang dihelat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan JalaStoria Indonesia, Jumat (8/9).

Dialog ini dihadiri tujuh tokoh agama yaitu Nur Rofiah (Islam), Sr Stefani Rengkuan (Katolik), Pdt Sifra Glorianthy N (Kristen), Kadek Nur Mantik (Hindu), Dharmika Pranidhi (Buddha), Ponny Wijaya (Konghucu), dan Is Wediningsih dari Penghayat Kepercayaan.

Turut hadir Direktur Eksekutif JalaStoria Ninik Rahayu dan Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan KPPPA Eni Widiyanti

Dialog lintas agama ini adalah bagian dari kampanye Penghapusan KDRT jelang dua dekade UU PKDRT.

“Tokoh agama sering menyampaikan pada saat pernikahan, ada pembekalan supaya hidup harmonis. Kami juga mensosialisasikan UU PKDRT dengan khutbah dan dalan-lain agar sampai ke semua umat,” kata Ponny.

Sementara itu, Kadek Nur Mantik mengatakan, Apabila muncul kasus KDRT di umatnya, keluarga harus bisa memberikan kenyamanan terutama untuk korban dan tidak menutup-nutupi yang ujung-ujungnya justru menyalahkan korban.

Begitu pula Dalam ajaran Katolik. Sr Stefani Rengkuan menegaskan bahwa gereja Katolik sudah aktif mengupayakan penghapusan KDRT. Bahkan, gereja Katolik sudah memiliki mekanisme sendiri dalam hal penanganan KDRT.

“Kami dari tingkat KWI memiliki komisi dan membuat jejaring hingga ke tingkat keuskupan. Ada 37 keuskupan di Indonesia. Selain itu, ada mekanisme untuk jemaah yang mengalami KDRT. Kami mencoba meminimalisir kasus KDRT,” ujar Stefani.

Sama halnya dnegan Pdt Sifra Glorianthy N yang mengatakan Gereja Kristen Pasundan punya kepedulian terhadap KDRT. Para pendeta pun dibekali pembinaan dan training keadilan gender.

“Kami diberikan pemahaman bahwa laki-laki dan perempuan sejajar. Kami dibekali membaca alkitab dengan mata baru. Di balik kisah kekerasan dalam alkitab, kita harus hidup berkeadilan. Ada pembekalan suami istri [sebelum menikah] bahwa hubungan mereka setara,” kata Sifra.

Is Wediningsih dari Penghayat Kepercayaan menyatakan bahwa jemaah mengadakan sarasehan setiap minggu. Saat ini, ada 109 kepercayaan di Indonesia.

 

“Kebahagiaan itu bukan hanya untuk laki-laki tetapi juga mutlak. Penghayat sangat antusias soal ini dan menimba ilmu terus. Pemuka penghayat ada konseling pernikahan,” kata Is.

Nur Rofiah dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) mengatakan, kekerasan terjadi karena banyak akar permasalahan, seperti tafsir agama dan kesadaran. Ada problem besar di mana Sebagian kelompok masyarakat melihat perempuan sebagai objek, baik sebagai alat seksual dan mesin reproduksi. Kondisi ini masih terjadi sampai sekarang.

Nur Rofiah memberikan beberapa solusi untuk mengurangi kekerasan pada perempuan. Salah satunya adalah memastikan lembaga-lembaga keagamaan sendiri bebas dari kasus kekerasan.

“Misalnya pesantren. Ini masih jadi tantangan untuk kami,” ucapnya Nur Roriah.

Sedangkan Dharmika Pranidhi mengungkap dalam Buddha masih banyak pemuka agama yang belum paham bagaimana konsep kekerasan perempuan dan bagaimana menjadikan perempuan seutuhnya.

“Umat juga banyak yang belum sadar bahwa telah terjadi kekerasan dalam rumah tangga,” kata Dharmika.

Pada awal minggu lalu, KPPPA menyebutkan, dalam 18 bulan terakhir telah terjadi 15.921 kasus kekerasan pada perempuan. Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPPA) mencatat, sepanjang 2022 sampai Juni 2023, terdapat 15.921 kasus kekerasan terhadap perempuan.

Sedangkan untuk kasus kekerasan terhadap anak, sebanyak 23.363 kasus dengan jumlah korban 25.802 orang.




Masakan Mudah Gosong, Sudahkah Bunda Lakukan 6 Langkah Ini?

Sebelumnya

Tips Menikmati Akhir Pekan ‘Anti-Boring’ Bersama Keluarga

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Family