DUNIA merupakan tempat tumbuh suburnya beragam harapan. Namun jika bergantung kepada dunia, kekecewaan yang akan kita dapat karena akan banyak sekali harapan yang tidak menjadi kenyataan. Rangkaian kekecewaan itu membuat manusia sulit menikmati hidup yang sementara ini.
Yang perlu diperbaiki terlebih dulu adalah persepsi terhadap kehidupan duniawi. Tidak banyak yang bisa diharapkan dari dunia yang fana ini. Dunia bukanlah surge, ketidaksempurnaan memang sudah melekat dalam hingar bingar dunia.
Dunia adalah tempat berkumpulnya beragam tipu daya yang paling sering menyesatkan manusia. Tipu duniawi ini sangat melenakan, dan ketika kita tersadar, kekecewaan serta rasa sakit yang didapat.
Ibnul Qayyim al-Jauziyyah dalam buku Uddatush Shabirin (2016: 368) menjelaskan, dunia menghinakan orang yang memuliakannya dan memiskinkan orang yang menghimpunnya. Dunia laksana racun yang dimakan orang yang tidak mengetahuinya, padahal di sanalah kematiannya.
Ia berhias dengan gaya tipunya, menggiurkan dengan bujukannya, menerbangkan khayalnya dengan harapan-harapan kosong. Ia menciptakan kerinduan bagi para perindunya. Dunia laksana pengantin putri yang ditampilkan di atas singgasana pelaminan. Kala itu, semua mata terpana, semua hati terpesona, dan semua nafsu terpaku.
Penggemar dunia mendapat perolehan sesuai dengan yang diinginkan, sehingga ia pun tertipu, terbuai, melampaui batas, dan melalaikan akhirat. Hatinya telah tertanam di sana hingga kakinya terpeleset. Betapa besar kekecewaan dan betapa panjang keluh kesah.
Pada dunia, berkumpul sekarat dan rasa sakit, kekesalan tertinggal beserta ketidakpuasan. Ia meninggalkan dunia dalam kondisi penuh keprihatinan dan tidak mendapatkan apa yang dicarinya. Sementara itu, jiwanya tidak bisa beristirahat dari kepayahan. Maka dia keluar dari dunia tanpa membawa bekal apapun dan melangkah tanpa landasan.
Bahkan ketika harapan demi harapan itu terwujudkan, maka sadarilah bahwa itu bukanlah pertanda kemenangan sejati. Sebab dunia adalah negeri persinggahan belaka.
Harapan yang terwujud, jika tidak disertai visi ukhrawi, hanya akan menjadi tipuan yang melenakan. Misalnya, harapan menjadi orang kaya raya akhirnya tercapai. Namun, kekayaan itu dapat menjadi harapan yang terhempas jika tidak disertai dengan visi ukhrawi. Jika harapan digantungkan pada kekayaan, maka kita akan diperbudak oleh harta benda. Hidup yang singkat ini akan binasa oleh harapan yang menyesatkan.
Lain halnya bila harapan itu berupa keinginan lebih banyak beramal kebajikan, maka kekayaan malah berlimpah berkah. Sebab kehidupan dunia akan terasa lapang dengan banyak berbagi, sedangkan kehidupan akhirat nan abadi menjadi indah disebabkan limpahan pahala.
Jadi, kuncinya adalah bagaimana menata harapan secara bijaksana. Jangan sampai harapan menjadi beban kehidupan.
Bukan berharap yang membahayakan, karena harapan-harapan itulah yang menumbuhkan optimisme dalam mengejar makna kehidupan.
Lantas apakah yang berbahaya itu? Tak lain dan tak bukan adalah mendahului takdir. Ketika kita sudah memastikan harapan akan jadi kenyataan, lalu takdir berkata lain, di sanalah kekecewaan itu dapat mematahkan semangat hidup.
Menarik sekali apa yang diterangkan Al-Qur’an dalam surat Muhammad ayat 36, yang artinya, “Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan kelengahan. Jika kamu beriman dan bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu.”
Kehidupan dunia hanyalah permainan belaka, jadi Jangan terlalu serius. Dinamika kehidupan dunia untuk dinikmati, bukannya untuk menjadi beban. Harapan boleh ditumbuhkan, tapi jangan kelewat tinggi.
Harapan yang hendak diwujudkan disangkutkan dengan keridaan Allah. Harapan terbaik adalah yang dipentaskan dalam mengejar rida Ilahi. Apalah arti berharap jika ujungnya Allah tidak merestui. Ada banyak limpahan pahala yang dapat diraup dari harapan-harapan yang benar itu.
Dan, harapan perlu dibingkai dengan keimanan. Mengapa? Karena iman adalah benteng yang sangat kokoh. Harapan yang tidak terwujud bisa saja menimbulkan goncangan batin yang hebat. Namun, tidak perlu khawatir bila keimanan kita mampu menjaganya dengan sentosa.
KOMENTAR ANDA