TAYAMUM biasa dilakukan kaum muslimin saat air tak ditemui untuk membasuh wajah, tangan, dan kaki saat berwudhu. Namun, apakah debu yang digunakan sudah benar-benar sesuai kriteria?
Pengetahuan tentang debu yang suci akan membantu kita dalam melaksanakan tayamum yang terbaik, karena bukan sembarang debu yang dipakai dan tata cara pelaksanaan tayamumnya pun harus tepat.
M. Abdul Ghoffar E.M. dalam buku Fiqih Wanita (2008: 8) menjelaskan, debu suci ada di permukaan tanah, pasir, dinding atau batu. Pendapat ini didasarkan pada sabda Rasulullah Saw, “Dijadikan bumi ini bagiku sebagai masjid, yang berarti suci.” (HR. Ahmad)
Dengan demikian, tanah atau debu dapat digunakan untuk bersuci atau mensucikan ketika tidak ditemukan air atau ketika terdapat larangan menggunakan air karena sakit dan sebagainya. Sebagaimana yang juga difirmankan oleh Allah Swt. “Sedangkan kamu tidak mendapati air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci).” (arti surat an-Nisa ayat 43)
Juga berdasarkan pada sabda Rasulullah dalam sebuah hadisnya, “Sesungguhnya tanah itu dapat mensucikan bagi orang Islam, meskipun dia tidak menemukan air selama sepuluh tahun. Akan tetapi setelah dia menemukan air, maka hendaklah dia mengusapkan air tersebut ke kulitnya (bersuci dengannya)."(HR. At-Tirmidzi)
Betapa mulianya agama Islam yang menyediakan opsi bertayamum bagi hamba-hamba-Nya. Salat harus tetap ditegakkan, sehingga ketiadaan air jangan sampai menjadi penyebab ibadah wajib menjadi tidak ditunaikan.
Sayyid Sabiq dalam buku Fiqih Sunnah Jilid 1 (2017: 122) memaparkan, tayamum bisa dilakukan dengan menggunakan debu yang suci dan semua jenis tanah, seperti pasir (raml), batu (hajar), atau kapur (jash).
Allah Swt berfirman, “Maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci)," (arti surat al-Maidah ayat 6).
Para ahli bahasa sepakat bahwa kata sha'id (debu) adalah permukaan tanah, baik itu berupa debu atau bukan.
Prosedur tayamum dilakukan dengan menggunakan debu yang dianggap suci dan semua jenis tanah, seperti pasir (raml), batu (hajar), atau kapur (jash). Debu ada di mana-mana, sehingga tidak ada alasan mengabaikan salat disebabkan ketiadaan air.
Ahmad Sarwat dalam buku Seri Fiqih Kehidupan 3: Shalat (2017: 524) menjelaskan, paling tidak ada enam hal yang membolehkan tayamum, di antaranya tidak adanya air, sakit, suhu yang sangat dingin, air yang tidak terjangkau, jumlah air yang tidak cukup, dan habisnya waktu salat. Apabila salah satu dari enam keadaan itu terjadi, maka dibolehkan bertayamum.
Para ulama sepakat, apapun yang menjadi permukaan tanah, termasuk tanah merah, tanah liat, padang pasir, bebatuan, aspal, semen, dan segalanya, termasuk dalam kategori tanah yang suci.
Ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw melakukan tayamum dengan tanah ketika air tidak tersedia. Oleh karena itu, tanah dalam berbagai bentuknya dapat digunakan sebagai medium tayamum.
Karena ayat menyebut kriteria debu yang suci, maka dalam bertayamum haruslah dipastikan dulu tanah tersebut memang tidak ada kotoran dan tidak ada najis. Sehingga kriteria suci dari debu itu benar-benar terpenuhi.
Namun, menurut para ulama, debu-debu yang tidak terlihat menempel di benda-benda di sekeliling kita, tidak dibenarkan untuk dijadikan media untuk bertayamum.
Tayamum adalah contoh konkret dari fleksibilitas dan pengertian Islam terhadap keadaan individu. Ini memungkinkan umat Islam untuk tetap menjalankan ibadah mereka dengan benar. Akan tetapi memilih debu yang suci hendaknya menjadi perhatian yang berlandaskan pengetahuan.
KOMENTAR ANDA