JAMU, seringkali kita menyebutnya sebagai minuman tradisional yang memiliki khasiat kesehatan. Bahan-bahan yang dipakai berasal dari alam dan kebanyakan diolah secara alami pula, meskipun tidak sedikit yang dihasilkan dari industri yang memakai mesin-mesin canggih.
Ketika berbicara tentang kehalalan jamu, banyak orang yang meragukan bahwa minuman tradisional tersebut tidak halal. Pertanyaannya kemudian, apakah benar ada tanaman atau rempah-rempah yang menjadi bahan baku jamu tersebut tidak halal?
Sebetulnya. jamu tradisional yang diracik dari bahan tanaman dan rempah-rempah seperti jahe, kunyit, sereh, dan sebagainya, bukanlah bahan kritis karena tidak tergolong bahan haram. Namun, demi mendongkrak khasiat jamu, produsen tidak jarang menambahkan bahan-bahan hewani.
Rezqi Handayani dalam buku Buku Ajar Ilmu Kesehatan Masyarakat (2019: 151) menjelaskan, jamu adalah obat tradisional yang disediakan secara tradisional, misalnya dalam bentuk serbuk seduhan, pil, maupun cairan yang berisi seluruh bahan nabati atau hewani yang menjadi penyusun jamu tersebut.
Pada umumnya, jamu dibuat dengan mengacu pada resep peninggalan leluhur yang disusun dari berbagai tumbuhan obat atau sumber hewani, yang jumlahnya cukup banyak, berkisar antara 5-10 macam, bahkan lebih.
Dari penjelasan ini dapat dipahami, penambahan unsur hewani pada jamu sudah berlangsung sejak lama dan bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Sekalipun bahan utama jamu adalah nabati, tapi penambahan unsur hewani ternyata sudah dianggap lumrah juga.
Di sinilah titik kritis halal haram jamu, sebab berpotensi diekstrak dari binatang yang diharamkan oleh agama. Terkadang pihak produsen jamu dengan bangga menyebut telah menambahkan bahan-bahan hewani yang lumayan ekstrim, semisal hati beruang, tangkur buaya, darah ular, kuku macan dan lainnya.
Jadi, konsumen muslim hendaknya teliti mencermati ingredient atau bahan baku yang tertera di kemasan jamu. Karena bahan-bahan dari binatang yang dilarang agama sudah pasti membuat jamu tersebut haram dikonsumsi.
Dunia yang serba praktis membuat jamu mengalami perubahan, sehingga mudah ditemukan pula jamu berwujud kapsul. Tidak ada lagi serangan rasa pahit tatkala menelan pil jamu, karena cangkang kapsul melindungi rasa yang tak mengenakkan itu. Sayangnya, justru pada cangkang kapsul itu pula bahan hewani yang kritis dapat terjadi.
Pada laman halal.kemenperin.go.id dijelaskan, selain bahan baku, hal yang perlu diperhatikan juga adalah kapsul untuk mengemas jamu. Bahan cangkang kapsul ini umumnya terbuat dari gelatin dan sebagian besar gelatin terbuat dari hewan.
Sampai saat ini, belum ada produsen yang memproduksi kolagen secara komersial di Indonesia. Hampir 60% penggunaan kolagen dan gelatin di dunia berasal dari babi karena lebih murah dari segi biaya.
Kita pun sudah terbiasa menyaksikan jamu cair yang sudah tersedia di botol-botol dan ada juga jamu cair dalam kemasan sachet. Ini juga cara praktis mendapatkan khasiat jamu. Di sini pula letak titik kritis jamu, sebab rawan ditambahkan bahan alkohol.
Tidak hanya kehalalannya, jamu yang mengandung alkohol nyatanya berbahaya bagi ibu hamil, karena membawa dampak buruknya bagi janin.
Ratna Dewi Pudiastuti dalam buku 234 Hal Tentang Kehamilan & Melahirkan yang Calon Mama Wajib Tahu (2022: 155) menguraikan, tidak semua jamu aman diminum, sebab dalam bahan jamu (sekalipun itu bahan alami) ada jenis empon-empon yang mengandung alkohol yang dapat mempengaruhi rahim hingga membahayakan janin.
Karena itu, jika ingin mengonsumsi jamu, alangkah baiknya dikonsultasikan terlebih dahulu dan tetap dalam pengawasan dokter.
Tidak semua produsen jamu nakal. Namun kita berharap, produsen jamu segera mengurus sertifikasi halal melalui lembaga berwenang, sehingga bisnis mereka semakin berkembang dan konsumen muslim mendapatkan hak-hak mereka sepenuhnya.(F)
KOMENTAR ANDA