Ilustrasi perempuan merenung di area pemakaman/Pixabay
Ilustrasi perempuan merenung di area pemakaman/Pixabay
KOMENTAR

SEBUAH pohon besar tiba-tiba saja tumbang. Sebuah mobil yang kebetulan lewat langsung ringsek. Sang istri menjerit-jerit ketakutan. Tapi dia heran melihat suaminya tenang-tenang saja memegang setir. Kemudian warga berdatangan memberikan pertolongan.

Akhirnya, perempuan itu sadar penyebab sang suami sangat tenang, karena dirinya tak bisa lagi bersuara. Dalam proses sakaratul maut yang cepat, lelaki itu telah kembali ke pangkuan Ilahi. Istrinya pun kembali menjerit-jerit.

Setelahnya, dalam waktu yang sangat lama, air mata perempuan itu seperti tidak bisa kering mengucur. Sebetulnya dia sudah rida dengan kepergian suami menghadap Ilahi, akan tetapi penyesalan di hatinya yang tak kunjung pupus.

Dia menyesali betapa selama ini sudah sering bersikap buruk pada sang suami, dan menjadikan hidupnya bagai neraka dunia. Perempuan itu punya lidah yang tajam dan perangai yang buruk. Akibatnya, banyak orang yang sakit hati dan berulang kali warga beramai-ramai menyerbu rumahnya.

Semua amarah warga itu dihadapi oleh suaminya dengan hati yang hancur. Berulang kali sang suami menasihati tetapi perempuan itu tak kunjung berubah. Perangainya masih saja buruk dan menyebabkan permusuhan yang besar.

Kini setelah suami tiada barulah disadarinya betapa besar cinta yang telah dipersembahkan, sehingga lelaki itu bersedia menanggung beban demikian berat. Justru setelah kehilangan untuk selamanya, perempuan itu menyadari hakikat cinta yang luar biasa.

Cinta tanpa menghargai adalah sikap yang melecehkan keagungan cinta itu sendiri. Bagaimana kita bisa menikmati penderitaan suami atau istri yang mati-matian mempersembahkan cinta yang tulus, sementara kita tidak pernah menghormatinya atau tiada henti menyakitinya?

Abdullah al-Ja’yatsan dalam bukunya Aswaa al-Azwaaj wa Aswaa az-Zaujaat (2016: 5) mengungkapkan:

Hubungan perkawinan yang sukses dan harmonis mesti didahului oleh sikap menghargai sebelum rasa cinta. Sikap menghargai salah satu bukti rasa cinta yang tumbuh, seperti bunga yang menebarkan keharuman. Setiap laki-laki yang mengaku mencintai istrinya, tetapi tidak pernah menghargainya, berarti laki-laki tersebut pembohong, egois, atau tidak dewasa.

Cinta tanpa penghormatan adalah kesombongan. Kalau pun kita mengaku masih mencintai, maka itulah cinta yang egois, yang hanya berpusat kepada kepentingan nafsu pribadi. Apa jadinya cinta tanpa penghargaan itu?

Pada akhirnya orang yang mencintai itu akan lelah sendiri, kemudian dia pergi bersama hati yang patah. Ketiadaan dirinya membuat kita dihinggapi beratnya sesal, karena selama ini bukannya membalas cinta tapi malah tidak menghormatinya.

Namun, perlu diingat bahwa ada kepergian cinta yang lebih perih, yakni kematian. Siksa batin akan terasa merajam lebih menyakitkan, saat kita hidup sementara orang yang tulus mencintai sudah tiada. Kita tidak bisa mengembalikan kehidupannya di dunia, kendati kita sudah bertekad menghargai cintanya.

Saat suami atau istri kita tertidur lelap, cobalah mengamati raut lelah di wajahnya. Ternyata mencintai itu benar-benar sangat melelahkan, terlebih cinta sepenuh hatinya tidak sedikit pun dihargai.

Dialah pasangan sah yang sudah mengorbankan keindahan tubuhnya, kecemerlangan hidupnya demi sebait cinta. Bibirnya tidak mengucapkan cinta, disebabkan demikian berat beban hidup yang dipikul oleh pundaknya yang kian lama semakin ringkih.

Jika ingin benar-benar belajar cinta, maka pelajarilah dari Allah Swt. Kurang apa lagi penghargaan cinta yang dianugerahkan Tuhan kepada hamba-hamba-Nya? Bahkan Allah sudah memberi sebelum kita meminta, Tuhan sudah mencurahkan cinta yang luar biasa ketika cinta kita masih berbagi dengan duniawi.

Astagfirullah!

Tapi, ada tempat terburuk yang disediakan bagi orang-orang yang tidak pandai menghargai cinta Ilahi, suatu tempat yang menjadi pembuangan bagi mereka yang durhaka kepada Tuhan, yakni neraka. Semoga dengan ketulusan cinta kita dapat menjauhkan diri dari kemalangan macam itu.

Seperti jadi bagian kelemahan hatinya manusia, setelah kehilangan barulah menyadari betapa berharganya yang sudah pergi itu. Saat suami atau istri masih ada seringkali yang remeh-temeh menjadi pertengkaran. Kesalahan secuil terlihat jadi segunung, lalu berujung memandang sebelah mata pada pasangan. Padahal, sikap yang demikian hanya akan berujung pada penyesalan selamanya.

Inilah waktu yang tepat bagi suami istri untuk melihat cinta dalam bingkai menghargai dan menghormati. Karena kebahagiaan itu tidak pernah jauh, sebab ada bersama cinta yang sebenarnya, bersama orang-orang tercinta.




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur