BANYAK orang tua berteriak dan menyuruh anak untuk melakukan ini itu. Artinya, mereka memilih mendahulukan mulut daripada kaki.
Mereka malas berjalan menghampiri anak, mengobrol bersama anak, dan mencari tahu apa yang dirasakan anak, sebelum kemudian menyuruh anak melakukan sesuatu.
Akibatnya, banyak anak yang kemudian merasa trauma akibat terlalu sering dimarahi orang tua. Dampaknya juga terlihat pada perilaku anak. Mereka menjadi tidak percaya diri, selalu merasa takut, bahkan ada yang dilanda depresi.
Berikut ini tiga cara untuk mengatasi rasa trauma pada anak akibat orang tua yang mendahulukan mulut daripada kakinya.
Pertama, meminta maaf. Orang tua yang bijak harus mampu memahami kesalahannya dan berani meminta maaf kepada anak. Sebesar apa pun keinginan kita sebagai orang tua untuk dihormati, kita tentu tak ingin mental anak terganggu dan anak benci kepada kita.
Kedua, hadir utuh untuk anak. Fokuslah jika bersama anak, jauhkan diri dari gawai dan urusan pekerjaan yang membuat perhatian kita terpecah. Membersamai anak berarti mau bermain bersamanya dan menyimak keluh kesahnya. Dari situ, kita akan menemukan cara komunikasi yang lebih tepat agar anak mau menuruti perkataan kita.
Ketiga, memberi contoh teladan. Jika kita menjadi contoh teladan bagi anak, maka kita tak perlu bersusah payah berteriak dan memarahinya agar melakukan hal baik. Anak melihat perilaku orang tuanya, dan otomatis akan menirunya.
Sahabat Farah, kita tentu ingin memiliki anak berkarakter tangguh dan berperilaku baik. Karena itulah, mari sebagai orang tua, kita mendahulukan kaki kita untuk mendekati dan membersamai anak. Sebisa mungkin, kita tak perlu membuka mulut, apalagi jika perkataan yang kita ucapkan hanya akan menyakiti hati anak.
KOMENTAR ANDA