TERLALU sering patah hati tidaklah bagus untuk kesehatan mental. Dari itu, segeralah menyadari betapa kekecewaan yang menyakitkan itu sering kali berpangkal dari diri sendiri. Tatkala menggantungkan harapan kepada manusia, ujung-ujungnya malah patah hati.
Manusia memang tidak akan pernah sempurna, lalu mengapa kita mempertaruhkan harapan kepada kefanaan?
Kehidupan manusia penuh dengan hubungan sosial, interaksi, dan tak jarang ketergantungan satu sama lain. Disadari atau tidak, seringkali tertanamkan harapan kepada orang-orang di sekitar kita, entah itu harapan akan dukungan, pengertian, atau bahkan cinta.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam buku Menjadi Ahli Ibadah yang Kaya (2015: 121) menjelaskan, jika seorang hamba menggantungkan harapan, asa dan sandarannya kepada selain Allah Swt, ia pasti kembali dengan tangan kosong, ditelantarkan dan diabaikan.
Kita tidak bisa mengendalikan bagaimana orang lain akan merespons atau berbuat, karena mereka memiliki prioritas, masalah, atau perubahan dalam hidup sendiri. Inilah mengapa perasaan kecewa dan patah hati muncul ke permukaan.
Tangan kosong yang menyakitkan itu akan terus berulang hingga akhirnya hati benar-benar patah.
Sayyid Quṭb dalam Tafsir fi Zhilalil Qur'an di Bawah Naungan Al-Qur'an Volume 1 (2000: 57) mengungkapkan, sekutu-sekutu dan tandingan-tandingan yang dilarang keras oleh Al-Qur’an untuk membersihkan akidah tauhid dengan sebersih-bersihnya, kadang-kadang bukan berupa berhala-berhala yang disembah di samping Allah dalam bentuk sebagaimana yang biasa dilakukan orang-orang musyrik, tetapi sekutu-sekutu itu kadang-kadang terwujud dalam bentuk lain yang sangat halus dan samar.
Kadang-kadang dalam bentuk menggantungkan harapan kepada selain Allah, takut kepada selain Allah dalam berbagai wujudnya, dan mempunyai kekuasaan pemberian manfaat dan mudarat pada selain Allah dalam berbagai modelnya.
Akidah seorang muslim hendaknya benar-benar murni, tidak terkontaminasi oleh apapun. Sebab, kejadian seperti ini hanyalah mengotori kualitas akidah yang benar.
Ali Muhammad Ash-Shallabi dalam buku Nuh: Peradaban Manusia Kedua (2020: 141) mengungkapkan, ketika seseorang mengimani dan meneguhi tauhid, maka dia tidak akan memandang kepada selain Allah. Dia hanya takut kepada-Nya, menggantungkan harapan hanya kepada-Nya, menggantungkan kepercayaan hanya kepada-Nya, dan bertawakal hanya kepada-Nya.
Ketika seseorang meyakini tauhid, maka dia akan melihat bahwa segala sesuatu selain Allah ditundukkan demi Dia. Ketika seseorang meyakini tauhid, maka dia terbebaskan dari hinanya penghambaan dan ketundukan kepada makhluk, karena semua makhluk ditundukkan demi Dia.
Betapa terhina orang-orang yang hidup hanya merendahkan diri kepada manusia. Betapa buruk nasib mereka yang meminta belas kasihan kepada manusia yang sangat lemah.
Di atas itu semua, jangan lupa memancangkan setiap harapan di bawah naungan Allah semata. Tidak ada yang terbaik itu bisa terjadi, tiada harapan indah itu akan terwujud kecuali atas rida Ilahi. (F)
KOMENTAR ANDA