BURUKNYA tradisi jahiliyah benar-benar menjerumuskan kaum perempuan ke jurang kegelapan. Saat Islam berjuang gigih melindungi hak-hak kaum hawa, adat jahiliyah malah merampas hak-hak itu, bahkan menjungkalkan mereka dalam kepahitan hidup.
Apalagi ketika suami meninggal dunia, nasib seorang perempuan yang ditinggal suaminya benar-benar malang. Hak warisan perempuan tersebut dirampas secara kasar, sehingga lenyap sudah harapan masa depannya karena tiadanya pegangan hidup.
Pada level yang lebih keji, perempuan yang masih berkabung itu malah dijadikan sebagai warisan oleh keluarga suami. Tidak jarang pula yang terjadi itu malah dimiliki atau dinikahi oleh anak almarhum suaminya. Benar-benar kekejian yang memilukan dan sekaligus memalukan!
Surah An-Nisa ayat 19, yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa. Janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Pergaulilah mereka dengan cara yang patut.”
Ayat ini menegur dan melarang dengan tegas prilaku kejam kaum jahiliyah yang menyusahkan kaum perempuan, seperti praktik-praktik yang menyengsarakan para janda.
Ayat ini merupakan respons dari kemalangan yang menimpa Kabisyah binti Maan, tapi alih-alih bersikap pasrah, muslimah yang satu ini berani melawan kezaliman jahiliyah. Sehingga dia mendapatkan dukungan dari Allah dan Rasulullah.
Jabir Asysyaal dalam bukunya Al-Quran Bercerita Soal Wanita (1988: 148-150) menerangkan:
Kabisyah binti Maan hidup bersama suaminya yang bernama Aasim bin Alaslat. Rumah tangga mereka sama seperti kebanyakan rumah tangga lainnya. Silih berganti suka dan duka.
Kabisyah bukan istri pertama Aasim. Sebelumnya Aasim sudah beberapa kali kawin, tapi tak pernah mempunyai anak kecuali dari istri pertamanya yang sudah wafat. Kabisyah sangat merindukan hadirnya anak dalam perkawinannya dengan suami yang baik pergaulannya dan mempunyai akhlak mulia.
Mulanya anak Aasim dari istri terdahulu tinggal bersama keluarga dari pihak almarhumah ibunya. Ketika Aasim hendak membawanya, dia dihalangi oleh sanak keluarga almarhum istrinya.
Setelah bermusyawarah akhirnya sanak keluarganya rela melepaskan anak itu, dengan syarat Kabisyah—ibu tirinya harus melayani dan mengurusi anak itu dengan baik dan penuh kasih sayang.
Kedua suami-istri itu berjanji akan mengurusi anak itu dengan baik dan akan dianggap Kabisyah sebagai anak kandung, apalagi Kabisyah memang merindukan hadirnya seorang anak.
Kabisyah menunjukkan kemuliaan hati yang berkenan mengurus anak tirinya dengan sepenuh cinta. Dia yang memang belum dikaruniai keturunan mencurahkan segenap perhatian untuk perkembangan anak tersebut. Sekalipun bukan ibu kandung, peran Kabisyah tidak dapat diabaikan. Dia seorang perempuan yang mulia hatinya.
Tidak terasa tahun demi tahun telah berlalu, keluarga yang bahagia itu mendapatkan cobaan. Selain mengurus anak tirinya, Kabisyah juga harus mengurusi suaminya yang jatuh sakit keras.
Muhammad Muttawali Sya'rawi dalam buku Al-Qur'an Bercerita tentang Perempuan (2022: 222-223) menerangkan:
Beberapa lama kemudian Aasim jatuh sakit. Kabisyah merawatnya dengan sungguh-sungguh dan penuh perhatian. Sakitnya semakin parah, akhirnya ia meninggal setelah meninggalkan wasiat kepada Kabisyah, agar dia merawat anaknya dengan baik.
Kabisyah meyakinkan suaminya bahwa dia akan merawat anak itu dengan baik dan penuh kasih sayang karena anak itu bagaikan anak kandung bagi dirinya. Harta peninggalan Aasim cukup banyak untuk menghidupi istri dan anaknya selama bertahun-tahun. Aasim pun wafat.
Meninggalnya suami merupakan pukulan berat bagi Kabisyah, yang otomatis akan menjadi single parent atas anak tirinya. Secara hitung-hitungan di atas kertas, Kabisyah tidak perlu khawatir dengan nafkah dirinya dan anak sambungnya, sebab Aasim meninggal dunia dengan meninggalkan harta warisan yang mencukupi.
Punya suami yang berakhlak baik bukan berarti hidup akan tenang-tenang saja. Apalah daya Kabisyah tidak dapat mengelak dari perlakuan buruk dari pihak keluarga almarhum suaminya. Mereka langsung berdatangan begitu mendengar kematian Aasim dan yang menjadi sasaran perilaku buruk adalah Kabisyah.
Sesuai dengan tradisi jahiliyah, mereka beramai-ramai merampas warisan sehingga Kabisyah tidak mendapatkan bagian sedikit pun. Tidak puas demikian saja, pihak keluarga almarhum suami melarang Kabisyah menikah lagi dengan pria lainnya. Bahkan mereka menghalang-halangi Kabisyah keluar dari rumah.
Mereka benar-benar memperlakukan dengan buruk dan menjerumuskan seorang perempuan yang ditinggal suaminya dalam kemalangan yang berat. Kabisyah masih hidup tetapi mengalami nasib yang lebih buruk daripada kematian. Dia tidak dapat warisan, dilarang menikah lagi dan dihalangi keluar rumah. Betapa berat tantangan yang dihadapinya.
Tetapi Kabisyah tidak diam saja. Semangat juangnya menyala-nyala tatkala melihat cahaya Islam yang menyinari dunia. Kabisyah berjuang keras melawan buruknya tradisi jahiliyah dengan dukungan Rasulullah. Sehingga ayat Al-Qur’an pun turun dalam rangka membela kehormatan dirinya.
KOMENTAR ANDA