PADA buku memoarnya, wanita hebat itu menceritakan secara gamblang betapa hubungannya dengan suami bagaikan Tom and Jerry, serial kartun yang menceritakan seekor kucing dan seekor tikus yang setiap kali selalu bertengkar. Kartun itu memang tampak lucu, tapi tidak pada kehidupan suami istri.
Perempuan itu geleng kepala. Dia dan suami yakin sama-sama mencintai dan pernikahan juga atas pilihan sendiri, bukan sebuah hasil dari perjodohan. Selama suaminya jatuh sakit, perempuan itu meninggalkan segala urusan penting demi merawatnya. Begitu pula ketika perempuan ini sakit berat, suamilah yang melepaskan padatnya agenda demi mendampingi secara penuh.
Tetapi begitu sembuh, hubungan pasutri mode Tom and Jerry kembali meletus dalam episode berjilid-jilid yang nyaris rutin setiap hari. Sebetulnya, pertengkaran suami-istri adalah hal yang biasa saja. Kepala sama hitam, tapi isinya berbeda-beda. Seorang ayah berkata kepada putri dan calon menantunya, “Seseorang dikatakan siap menikah kalau sudah sama-sama siap mengalah.”
Bahtera rumah tangga akan kokoh berlayar di samudra jika keduanya sama-sama siap mengalah. Dengan komitmen suami istri itulah pernikahan akan mampu bertahan dan pertengkaran yang melelahkan dapat dihindari.
Pada hakikatnya, menikah akan terus menempa kedewasaan suami istri. Dari itu, belajarlah untuk memperbaiki diri dan terus mengelola ego pribadi. Kesabaran adalah modal terpenting kalau tidak mau episode Tom and Jerry terjadi hampir tiap hari dalam rumah tangga.
Muhammad Shidiq Hasan Khan pada Ensiklopedia Hadis Sahih (2009: 13) menulis, Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi mengisahkan bahwa Rasulullah Saw datang ke rumah Fatimah, tetapi Nabi Saw tidak mendapati Ali di rumah.
Nabi Saw bertanya, “Di mana suamimu?”
Fatimah menjawab, “Ada masalah antara aku dan dia, kemudian ia marah kepadaku dan keluar meninggalkan rumah.”
Rasulullah Saw lalu meminta seseorang untuk mencari menantunya itu. Ali ternyata ditemukan di masjid sedang tidur. Rasulullah Saw pun mendatanginya, sementara Ali sedang berbaring dengan selendang (rida’) yang jatuh dari pundak sebelahnya dan terkena debu. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari kisah yang menarik ini dapat dipetik beberapa hikmah:
Pertama, hindarilah cekcok yang tidak berkualitas. Ali bin Abi Thalib marah kepada istrinya, namun kemarahan itu tidak perlu dijadikan cekcok yang buang-buang energi. Itulah mengapa Ali memutuskan pergi, menenangkan diri. Pilihannya cukup bijaksana, sebab tidak elok jadinya kalau yang pergi itu adalah Fatimah. Lebih baik menghindar.
Kedua, yakinlah bahwa kemarahan itu bisa mereda dengan sendirinya. Tidak seluruh amarah perlu diluapkan, apalagi jika dilampiaskan dalam kata-kata kasar, kekerasan fisik atau sampai merusak perabotan rumah tangga.
Hanya dengan berpisah sejenak, amarah itu pun surut dengan sendirinya, karena berganti dengan cinta yang kembali menyejukkan suasana. Suami istri hanya perlu memberi waktu kepada hati masing-masing untuk menata ulang perasaan.
Ketiga, cekcok suami istri lebih mudah redanya ketika keduanya menyadari punya bekal cinta. Setiap amarah akan berakhir dengan penyesalan. Oleh sebab itu suami istri perlu berpandai-pandai dalam menatanya. Marah itu tidak boleh melebihi kekuatan cinta. Ketika terjadi ketidakcocokan, maka percayalah cinta lebih besar dari rasa kecewa itu. Selagi modal cinta masih ditegakkan, insyaallah banyak ketegangan yang dapat diredakan.
Rumah tangga yang penuh kericuhan memang merugikan, bukan hanya pasangan itu dan anak-anaknya yang kehilangan hidup nan damai, tetapi dampak buruknya juga berimbas kepada masyarakat.
Betapa buruknya jika hidup yang singkat ini justru dipenuhi dengan pertengkaran yang remeh-temeh. Waktu yang pergi dan tidak pernah kembali itu pun terbuang percuma untuk cekcok yang tak ada faedahnya.
KOMENTAR ANDA