NABI Muhammad mendatangi istrinya, menanyakan makanan. Aisyah tidak menutup-nutupi keadaan bahwa tidak ada yang dapat disantap. Rasulullah tidak marah, beliau tidak menyalahkan siapa-siapa. Nabi Muhammad memutuskan bahwa dirinya berpuasa saja.
Abu Abdurrahman Ahmad pada buku Sunan an-Nasa’i Jilid 2 (2023: 303) menulis, Abu Dawud mengabarkan, Aisyah berkata, Rasulullah Saw pernah menghampiriku dan bertanya, “Apakah ada sesuatu (makanan)?” Aisyah menjawab, “Tidak.” Beliau bersabda, “Saya puasa.”
Situasi yang sangat berat bukan menjadi alasan rusaknya keindahan hidup. Nabi mengajarkan kita bahwa bahagia tidak ada hubungannya dengan harta benda. Bahkan keadaan yang sulit dapat berubah menjadi kebaikan, sebagaimana Aisyah yang tidak memiliki makanan berujung Nabi mampu meraih pahala dari ibadah sunnah berpuasa.
Hidup yang satu kali ini sangatlah singkat. Besar sekali kerugiannya jika yang dialami hanyalah penderitaan batin yang berpangkal dari obsesi berlebihan terhadap dunia. Jika yang dijadikan tujuan adalah kemauan, maka seluruh bumi ini pun ingin dimiliki.
Kita tidak akan mampu memenuhi semua kemauan yang memang tidak ada batasnya, sebab kemauan itu seringkali didorong oleh hawa nafsu. Para leluhur sudah banyak mewanti-wanti dalam berbagai petuahnya, salah satunya sindirannya adalah “Besar Pasak Daripada Tiang”. Ini gambaran orang yang hidupnya tidak sesuai kemampuan akhirnya terjerumus dalam kesempitan.
Al-Qur’an juga memuat prahara yang pernah melanda keluarga Nabi Muhammad. Bahkan beliau pergi mengasingkan diri dari istri-istrinya selama satu bulan. Masalahnya, para istri menuntut kenaikan nafkah. Mereka ingin merasakan kemegahan duniawi.
Sekilas permintaan itu wajar-wajar saja, mumpung suami mereka adalah pemimpin dunia. Jurus aji mumpung ini memang jamak terjadi pada kaum hawa yang suaminya sedang di posisi bagus. Tapi Rasulullah menolaknya. Beliau mengingatkan, sebagai istri pemimpin hendaknya menunjukkan keteladanan dalam kesederhanaan. Beliau adalah seorang nabi, prinsip hidupnya berbeda dengan raja-raja.
Sekiranya keluarga Rasulullah hidup bermegah-megah, maka akan berdampak buruk, menyakiti perasaan rakyat jelata. Nabi Muhammad menyadarkan istri-istrinya bahwa menjadi pemimpin itu memberikan teladan, bukannya berpesta di atas air mata kaum fakir miskin.
Prahara ini langsung membuat geger kaum muslimin, sampai ada yang menyangka Nabi Muhammad akan menceraikan istri-istrinya. Terlebih lagi, Allah Swt mendukung penuh sikap tegas Rasulullah yang tercantum dalam Al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 28-29, yang artinya:
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, ‘Jika kamu menginginkan kehidupan di dunia dan perhiasannya, kemarilah untuk kuberikan kepadamu mut‘ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Jika kamu menginginkan Allah, Rasul-Nya, dan negeri akhirat, sesungguhnya Allah menyediakan pahala yang besar bagi siapa yang berbuat baik di antara kamu.”
Talak adalah perbuatan halal yang dibenci Allah. Akan tetapi untuk menuntut gaya hidup yang bermegah-megah, maka opsi perceraian itu justru dibuka. Mengapa? Karena jika rumah tangga tegak di atas kemauan berfoya-foya maka ujung pernikahan itu adalah kehancuran. Harta apa sih yang tidak bisa habis?
Namun, istri-istri Nabi adalah para perempuan pilihan yang lekas menyadari kekeliruan. Dengan tegas Aisyah menyatakan pilihannya tetap bersama Allah dan Rasulullah dan siap menjalani hidup sederhana. Bahkan dia menolak terlebih dulu membicarakannya dengan orang tua, secara mandiri Aisyah memilih tetap menjadi istri Nabi.
Zaki bin Muhammad Abu Sari' dalam bukunya Di Pintu-Mu Aku Bersimpuh (2017: 277) menjelaskan, Maka saya (Aisyah) berkata kepada beliau, “Pada urusan inikah saya meminta pertimbangan kedua orang tuaku? Sesungguhnya saya menginginkan Allah dan Rasul-Nya serta negeri akhirat.”
Aisyah berkata, “Kemudian para istri Nabi melakukan seperti yang telah saya lakukan.”
Istri-istri Rasulullah berhadapan dengan pilihan antara kemegahan dunia atau Rasulullah. Akhirnya, mereka memutuskan pilihan adalah hidup sederhana dan menjadi teladan bagi umat, asalkan masih berstatus sebagai istri Nabi Muhammad.
Tenyata apa yang ditakutkan umat Islam berantakannya rumah tangga Rasulullah tidaklah terjadi, sebab istri-istri Nabi menyadari dunia hanyalah kefanaan. Istri-istri beliau memutuskan hidup dalam kesederhanaan, bukan lagi hidup berdasarkan kemauan yang tidak bertepi.
Barangkali kita pernah mendengar istilah, biar tekor asal tersohor. Jika prinsip hidup seperti ini yang dipakai, akan menjadi pertanda hadirnya petaka bagi kehidupan. Terus-terusan tekor demi mengejar gengsi hanya akan meruntuhkan kebahagiaan.
Sebagaimana yang diteladankan oleh Rasulullah, kita perlu tegas untuk jujur mengukur kemampuan diri sendiri. Tidak perlu memperturutkan hawa nafsu yang hanya menjerumuskan
kita kepada hidup yang merana.
KOMENTAR ANDA