DALAM hubungan suami istri, kesalahan bisa saja dilakukan baik oleh istri maupun suami. Jadi, tidak sepantasnya jika salah satu menyalahkan yang lainnya atas kekhilafan yang terjadi. Dalam hal ini, Allah tidak menyukai suami yang membenci istrinya karena telah berbuat kesalahan.
Syaikh M. Nashiruddin al-Albani dalam bukunya Mukhtasar Shahih Muslim (2016: 376) menulis, dari Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah Saw bersabda, “Janganlah suami yang beriman membenci istri yang beriman, karena apabila suami tidak menyukai suatu perangainya, tentu ada perangai lain yang menyenangkannya.” (HR Muslim)
Islam melarang kebencian, karena itu adalah bagian dari jebakan setan yang dapat menyesatkan manusia dalam kegelapan tak berujung. Apabila terjerumus pada kebencian terhadap istri yang beriman, maka petaka besar akan datang susul-menyusul.
Kalau sudah benci, tidak ada lagi yang benar pada diri seseorang karena yang terlihat hanyalah buruk. Kebencian tidak akan membuat kita mampu berlaku adil. Sebaik apapun istri, akan tampak buruk jika hanya melihat dari kacamata benci.
Kita tidak akan berbuat baik kepada orang yang dibenci, justru terdorong untuk menzaliminya. Kebencian membuat orang tega melakukan perbuatan tidak terpuji, salah satunya merampas hak-hak hidup orang lain. Bayangkan, bagaimana jadinya rumah tangga bila suami berlaku zalim terhadap istri disebabkan kebencian yang membara.
Suami beriman tidak akan benci kepada istrinya yang beriman. Jika istri beriman masih saja dibenci oleh suaminya, maka yang bermasalah justru suaminya itu sendiri. Dia harus segera memperbaiki kualitas imannya.
Mengapa dilarang membenci istri yang beriman?
Secara manusiawi, akan ada saja sifat atau perangai istri yang tidak disukai suami. Mengapa? Karena suka atau tidak suka, itu sifatnya sangat subjektif. Jangan jadikan subjektivitas kita malah menyiksa hak-hak hidup orang lain, termasuk terhadap istri sendiri.
Nabi Muhammad mengingatkan, “Karena apabila suami tidak menyukai suatu perangainya tentu ada perangai lain yang menyenangkannya.”
Jadi, ketika suami merasakan tidak suka tentang suatu perkara pada istrinya, maka perbanyaklah mengingat yang baik-baik atau yang disukai darinya. Ibarat satu genteng bocor yang tidak kita sukai, maka janganlah satu genteng bocor itu membuat kita membenci keseluruhan rumah yang baik-baik saja.
Begitu pun tatkala kita melihat pribadi seorang perempuan beriman. Apabila kita melihat sesuatu sifat, tindakan atau gaya hidupnya yang tidak sesuai dengan selera, maka janganlah hal yang demikian berujung pada kebencian.
Dengan keimanan yang bertakhta di dadanya, perempuan itu akan berupaya menjauhi segala yang dilarang Allah dan menaati apapun yang diperintahkan-Nya. Selebihnya adalah sisi-sisi manusiawi yang membuatnya bisa saja khilaf. Dan setiap kekhilafan bisa diluruskan kembali.
Aisyah seorang istri yang pencemburu. Suatu ketika istri Nabi yang lain mengantarkan makanan, maka berkobarlah kecemburuan itu sehingga Aisyah memukul nampan dan membuat makanan berserakan di lantai. Kejadian yang demikian mengharukan berlangsung persis di hadapan tamu-tamu Rasulullah.
Namun kejadian itu tidak membuat Nabi Muhammad benci. Jangankan membenci, marah pun beliau tidak tunjukkan. Rasul hanya memberi pengertian kepada para tetamu, “Ibu kalian sedang cemburu.”
Kaum muslimin tidak ada juga yang membenci Aisyah, sebab yang terjadi hanyalah luapan kecemburuan belaka. Dan cemburu adalah normal terjadi kepada siapa saja.
Satu perangai itu tidak membuat Rasulullah membenci, sebab kelebihan Aisyah luar biasa melimpah. Dia perempuan yang cerdas. Aisyah adalah rujukan ilmu pengetahuan bagi kaum muslimin. Aisyah pula yang setia mengepakkan sayap cintanya.
Iman yang kuat adalah modal berharga untuk memperbaiki diri. Tetapi wanita yang beriman bukanlah jaminan dirinya bebas dari kesalahan atau kekhilafan. Cobalah melihat banyak sekali sisi positifnya, sembari kita berupaya dewasa melihat kekurangannya.
KOMENTAR ANDA