SEORANG ulama berceramah, muslim yang meninggalkan salat hukumnya kafir. Bukan asal berbicara, kyai kharismatik itu menyebutkan beberapa hadis Nabi. Mendengar ceramah itu, hati sang perempuan menjadi gundah gulana. Bukan karena ia meninggalkan salat, setiap azan berkumandang perempuan itu langsung mengerjakan ibadah wajib. Tidak pernah sekalipun dilewatkan.
Lantas, apakah yang membuatnya cemas?
Ternyata pasangannya. Pria yang dikasihi tergolong manusia yang acapkali meninggalkan salat. Telah banyak untaian nasihat disampaikannya, tapi sang suami tetap saja mengelak dari kewajiban agama.
Yang membuatnya cemas, bagaimana statusnya sebagai istri apabila sang suami seorang kafir disebabkan tidak salat? Tentunya perempuan itu tidak mau di mahkamah akhirat atau di hadapan Tuhan tergolong wanita yang bersuami kafir.
Memang benar, sejumlah hadis Nabi menegaskan orang yang meninggalkan salat disebut sebagai kafir. AR Shohibul Ulum pada Kitab Fikih Shalat 4 Mazhab (2023: 100) menyebutkan beberapa sabda Rasulullah:
“Suatu ikatan janji (pembeda identitas) yang ada di antara kita (iman) dan mereka (kafir) adalah shalat. Maka, barangsiapa yang meninggalkan shalat, berarti dia kafir.” (HR. Nasa’i dan Tirmidzi)
“Tidaklah ada antara hamba dan antara orang kafur, atau dikatakan sebagai syirik, kecuali karena dia meninggalkan shalat." (HR. Muslim dan Abu Dawud)
Namun demikian, sebelum menyebut seseorang kafir atau tidak, perlu dipahami penjelasan para fukaha (ulama fikih) terkait hadis-hadis tersebut. Memang terjadi perbedaan pendapat ulama, tetapi supaya memudahkan kita bahas saja pendapat jumhur (mayoritas) ulama.
Ahmad Sarwat pada Ensiklopedia Fikih Indonesia 3: Shalat (2019: 19-20) menjelaskan, jumhur ulama membedakan batas antara kafir dan tidak dalam hal meninggalkan shalat pada masalah keyakinan atau akidah, bukan semata-mata karena seseorang meninggalkan shalat.
Kafir
Orang yang kafir adalah orang yang meninggalkan salat sambil meyakini bahwa salat bukan bagian dari perintah Allah yang diwajibkan. Hanya saja mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah mengecualikan bila seorang jahidush shalah disebabkan karena dia baru saja masuk Islam. Dia masih sangat awam dan benar-benar tidak tahu kalau ternyata salat lima waktu itu bagi seorang muslim hukumnya wajib. Maka mereka ini tidak divonis murtad.
Berdosa besar
Namun, bila seseorang meninggalkan salat, tetapi dirinya masih meyakini bahwa shalat lima waktu hukumnya wajib, maka dia tidak dianggap kafir. Namun dia berdosa besar karena meninggalkan kewajiban yang paling utama dalam masalah ibadah.
Kafir atau tidaknya orang yang meninggalkan salat tergantung kepada pendirian yang dipegangnya. Ketika dia meyakini salat itu tidaklah wajib dan tidak bagian dari ajaran Islam, maka orang ini telah kafir. Karena dengan mengingkari salat artinya dia menyalahi ajaran Islam yang pokok.
Lain halnya kalau dia tidak salat tetapi masih meyakini salat itu wajib dan bagian dari ajaran Islam, maka dirinya tergolong seorang pendosa besar. Karena yang dilalaikannya adalah ibadah tiang agama, yakni salat, maka dirinya telah berdosa besar, tetapi tidaklah kafir.
Namun, penting sekali diingat bahwa kafir atau pendosa besar adalah status yang buruk sekali. Tidak ada yang dapat dibanggakan dan tidak ada faedahnya menjadi kafir atau pendosa disebabkan tidak menunaikan salat.
Hendaknya pembahasan fikih tentang kafir atau tidaknya seseorang yang meninggalkan salat bukan sekadar bahan diskusi belaka. Sebab, yang paling utama adalah bagaimana membangkitkan pada diri setiap muslim kesadaran untuk menunaikan kewajiban salat.
KOMENTAR ANDA