JIKA melihat kondisinya saat ini, semua terlihat baik-baik saja. Beragam investasi yang diwariskan suami membuat perempuan itu beserta anak-anak hidup sejahtera. Nama besar suamipun masih memayungi kehormatan keluarga yang ditinggalkan.
Namun, jauh di lubuk hati, perempuan tersebut sering merintih. Setiap kali teringat masa lalu, yang muncul hanyalah penyesalan mengapa dulu ia sering bersikap tidak baik dan menyakiti suami. Kini, setelah sang suami berpulang ke pangkuan Ilahi, hanya sesal yang tersisa.
Andai saja waktu bisa diulang kembali, ingin sekali dirinya bersimpuh di kaki suami, memohon maaf atas sikap-sikap buruk yang membuatnya menderita. Tapia pa daya, waktu tidak pernah berjalan mundur.
Yang patut disyukuri hanyalah perempuan itu menyadari semua kekeliruannya dan itu insya Allah bisa membuat sang suami tersenyum di alam sana. Kekeliruan itu diperbaikinya dengan cara beristighfar.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah pada kitab Madarijus Salikin (2008: 95) menjelaskan, istighfar yang berdiri sendiri seperti taubat dan bahkan istighfar itu sendiri adalah taubat, yang berarti menghapus dosa, menghilangkan pengaruhnya, dan mengenyahkan kejahatannya.
Tidak seperti yang dikira sebagian orang, bahwa artinya adalah menutupi aib. Toh Allah menutupi aib orang yang diberi-Nya ampunan atau yang tidak diberi-Nya ampunan. Penutupan aib hanya sekadar kelaziman dari maknanya atau sebagian di antaranya.
Istighfar inilah yang mencegah turunnya azab, sebagaimana firman-Nya:
“Dan, tidaklah Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun.” (Al-Anfal: 33)
Istighfar akan menjaga kita dari azab. Perannya bagaikan tameng, melindungi diri dari siksa batin juga. Tatkala insan dirundung sesal atas dosa-dosa di masa lampau, dianjurkan untuk memperbanyak istighfar. Kita harus percaya kekuatan istighfar sebagai penyejuk hati.
Masa lalu tidak bisa diubah dan tidak akan pernah kembali. Masa lalu bisa menjadi siksa batin dan banyak yang menjadi stres.
Solusinya, terapi istighfar!
Agama Islam menyediakan terapinya, yaitu dengan memperbanyak istighfar dan melakukannya dengan penuh keikhlasan. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah (2008: 95) menjelaskan, Allah tidak akan mengazab orang yang meminta ampunan. Sedangkan orang yang masih tetap berbuat dosa, namun dia juga meminta ampun kepada Allah, maka hal ini tidak bisa disebut istighfar yang murni. Karena itu, istighfarnya tidak mampu mencegah azab.
Bagaikan minum obat, jika yang kita pakai bukan obat mujarab, sulit mengharapkan khasiatnya. Begitu pula dengan istighfar, apabila menginginkan khasiatnya yang paten, maka lakukanlah yang paling murni.
Tatkala istighfar telah diperbanyak dan perbuatan dosa terus dikoleksi, maka khasiat istighfar itu tidak akan terasa. Karena itu hanya istighfar di lisan, ingkar di hati.
Dalam benda-benda keduniaan saja manusia hanya mau yang murni, dari itu jangan sampai tidak murni untuk urusan istighfar yang menakjubkan ini. Yakinlah dengan kedahsyatannya dan berupayalah mendapatkan kemurniannya.
KOMENTAR ANDA