ADA banyak motivasi di balik manusia yang menyuarakan pendapatnya di ranah publik. Ada yang merasa ingin membuat perubahan, ada yang sekadar mengikuti tren, ada yang ingin dianggap pintar, ada pula yang menjadikannya pelampiasan karena frustasi terhadap sesuatu.
Namun mungkin tak banyak di antara kita yang menyadari bahwa berbicara tanpa ilmu bisa jadi akan berbalik menjadi bumerang. Bukan menginspirasi, melainkan menjadi ghibah. Bahkan bukan tak mungkin bakal menjadi bencana bagi diri kita sendiri.
Satu hal yang harus diperhatikan adalah kita tidak bisa menyamaratakan kondisi setiap orang. Masing-masing memiliki masalah sendiri. Dan kita tidak bisa menganggap orang lain akan memiliki pendapat yang sama dengan kita.
Tak jarang, kita sudah meremehkan orang lain. Menganggap orang lain lemah, bodoh, keras hati, tidak punya empati, atau sombong. Padahal kita hanya tahu sedikit saja tentang orang tersebut. Kita tidak mengenalnya dengan baik sehingga kita tidak memahami alasan di balik perbuatan yang teramat buruk di mata kita.
Ketika kita sudah belajar untuk bicara, maka kita seharusnya juga belajar untuk diam.
Tak perlulah menggunakan lidah kita untuk menyombongkan diri, menumpahkan kekesalan hati, mencaci orang lain, membongkar aib orang lain, memaksakan kehendak sendiri, dan menghakimi orang lain.
Jauh lebih jika kita mau mengunci bibir dan diam sejenak. Memperhatikan apa yang terjadi.
Jika pun harus berkata-kata, pastikan itu untuk kebenaran. Menyampaikan kebenaran dengan tulus semata karena Allah. Bukan karena ingin menjadi pahlawan. Bukan karena ingin dianggap menguasai suatu hal.
Akan diamnya kita dianggap kebodohan?
Akal dan akhlak yang melekat pada diri kita tidak akan menghilang hanya karena kita diam. Justru diamnya seseorang akan menjadikan dirinya lebih mulia, daripada mereka yang berlomba terlihat berkelas tapi justru merendahkan diri dengan perkataan yang keluar dari mulut mereka.
Wallahu a’lam bishshawab.
KOMENTAR ANDA