DECAK kagum mengiringi keputusan perempuan itu mengenakan cadar. Keluarga mendukungnya sepenuh perhatian, begitupun dengan para sahabat atau kolega yang menghargai penampilan barunya. Mereka tidak mempersulit urusan apapun, karena cadar dianggap sebagai kehormatan muslimah.
Namun, saat sang suami bertanya alasannya, dengan riang wanita itu menjawab, “Ini kan lagi tren, ya jangan sampai ketinggalan mode lah!”
Sang suami lalu terbayang masa mudanya, saat menyaksikan para hijabers turun ke jalan. Mereka berunjuk rasa dengan gagah berani, membela hak-hak perempuan berjilbab. Sebab kala itu siswi berjilbab dilarang masuk ke kelas. Bagi yang tak sanggup dengan intimidasi, terpaksa angkat kaki dari sekolah tercinta.
Berbagai fitnah dan bullying jamak dialami para hijabers, mengenakan jilbab di masa itu benar-benar berat ujiannya. Beberapa muslimah terpaksa keluar sekolah atau tergusur dari perguruan tinggi, atau terpaksa kehilangan pekerjaannya.
Edy Suhardono dan Audifax pada bukunya Membaca Identitas (2023: 483) menceritakan, korban berjatuhan, bahkan tergolong massif. Seperti yang terjadi di SMAN 3 Bandung pada pertengahan 1982, delapan siswi diancam dikeluarkan dari sekolah karena menolak membuka jilbab. Begitu pula di SMAN 68 Jakarta, seorang siswi terpaksa dikeluarkan karena berjilbab. Dan di beberapa wilayah seperti Tangerang, Bekasi, Semarang, Surabaya, Kendari, dan kota-kota lainnya di Indonesia.
Hampir satu dasawarsa, pemerintah Orde Baru tidak memberikan kompromi terhadap keberadaan para siswi berjilbab di sekolah-sekolah negeri. Bagi para pengguna hijab hanya memiliki dua pilihan, yaitu terus bersekolah namun membuka jilbabnya, atau terus berjilbab namun harus pindah ke sekolah swasta.
Memasuki 1990, bandul kepentingan politik pemerintah Orde Baru pun berubah. Pada 16 Februari 1991 ditetapkan SK No 100/C/Kep/D/1991, yang membolehkan para siswi untuk mengenakan pakaian didasarkan pada keyakinannya.
Masa pun bersalin, jilbab sudah diperbolehkan di berbagai lini kehidupan. Kemudian, jilbab beralih menjadi tren. Berbagai pihak berlomba-lomba mengenakan jilbab karena dianggap sebagai mode terkini. Industri hijab pun meraup untung besar.
Yang menjadi masalah, niat berhijab hendaknya bukan karena mode, melainkan ketaatan kepada Allah. Hal ini penting, karena niat akan menjadi pondasi dari setiap amalan baik. Dari niat yang benar, maka tidak akan sulit bagi muslimah yang berjilbab atau bercadar untuk memperbaiki akhlaknya dan menaati ajaran agama secara kaffah.
Jangan mengandalkan tampilan luar belaka tetapi hati dan perbuatan masih longgar sehingga justru menodai kesucian hijab. Nauzubillahi min zalik!
Mengerikan mendengar hijabers tetapi mulutnya berbisa, tingkah lakunya menyakitkan bagi lingkungan atau bahkan mondar-mandir melakukan kemaksiatan. Bagaimana bisa dirinya malah bangga dengan dosa-dosa!
Jelas, ini bukanlah salahnya hijab. Busana menutup aurat yang dikenakan muslimah akan terus mulia. Namun, tanpa niat yang kokoh terpatri di hati, maka jilbab itu akan semakin longgar.
Bukan pemakaian hijabnya yang longgar, bukan jilbabnya yang kendor, melainkan kemuliaan yang mestinya menyelubungi hijab makin lama kian redup.
Dari itulah, orang-orang yang pertama kali mengenakan hijab sering menyebutnya sebagai fase hijrah. Muslimah itu tidak pindah ke daerah lain hanya untuk berjilbab, melainkan hatinya pindah dari masa jahiliyah menuju hati yang benar-benar berhijab.
Tatkala dirinya mengenakan jilbab, maka dengan bermodalkan niat yang tulus dirinya juga memperbaiki budi pekertinya dan meningkatkan amal ibadahnya supaya semakin selaras dengan tuntunan agama.
Tapi, bagaimana kalau setelah mengenakan busana hijab justru menjadi menarik, modis dan bahkan jadi tren?
Nah, anggaplah itu sebagai karunia! Memang tidak dijadikan tujuan utama, sebab sejatinya berhijab adalah untuk menaati Ilahi, hal-hal di luar itu dipandang sebagai bonus belaka.
Lain halnya kalau berhijab itu diniatkan supaya modis, mengikuti tren atau mencari perhatian atau malah supaya dipuja-puji, maka dari sanalah bermula petaka yang membahayakan kesucian hati.(F)
KOMENTAR ANDA