KOMISI Pengaduan dan Penegakan Etika Pers yang berada di bawah naungan Dewan Pers telah menerima pengaduan masyarakat dan kelompok sosial lainnya terkait sejumlah media yang memberitakan kekerasan terhadap anak.
Sekadar informasi, laporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menunjukkan ada 11.016 kasus kekerasan seksual pada tahun 2022.
Dari jumlah tersebut, kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai 9.588. Di samping kekerasan seksual, ada sejumlah anak mengalami berbagai kekerasan lain—tidak hanya secara fisik, tapi juga psikis misalnya penelantaran, perdagangan orang, hingga eksploitasi.
Masyarakat mengadu karena sejumlah media pers mengambil informasi dari media sosial yang viral tentang kekerasan terhadap anak tanpa proses uji informasi (verifikasi, klarifikasi dan konfirmasi) sebagaimana diamanatkan Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan menggunakan diksi “keras” sebagaimana umum disebutkan di media sosial seperti “penganiayaan berat”, “pemerkosaan brutal” dan sebagainya yang dapat menimbulkan efek traumatis. Hal ini semestinya wajib dihindari, karena melanggar Pasal 2 dan 4 KEJ.
Selain itu, dalam pemberitaan sejumlah pers seringkali mengungkapkan identitas anak korban dan pelaku kejahatan anak secara gamblang.
Hal ini melanggar Pasal 5 KEJ yang menyatakan, “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.” Penafsiran “Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak”.
Berikut ini adalah seruan Ketua Dewan Pers Dr. Ninik Rahayu, S.H., M.S. yang dituangkan dalam pernyataan tertulis di dewanpers.or.id terkait pemberitaan ramah anak.
Dewan Pers mengingatkan kepada seluruh pers untuk menaati Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (Peraturan Dewan Pers Nomor: 01/Peraturan[1]DP/II/2019), sebuah pedoman pemberitaan yang dihasilkan oleh komunitas pers sendiri.
Dalam pedoman itu antara lain disebutkan:
1. Wartawan merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi tentang anak khususnya yang diduga, disangka, didakwa, melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.
2. Wartawan memberitakan secara faktual dengan kalimat/narasi/visual/audio yang bernuansa positif, empati, dan/atau tidak membuat deskripsi/rekonstruksi peristiwa yang bersifat seksual dan sadistis.
3. Wartawan menghindari pengungkapan identitas pelaku kejahatan seksual yang mengaitkan hubungan darah/keluarga antara korban anak dengan pelaku. Apabila sudah diberitakan, maka wartawan segera menghentikan pengungkapan identitas anak. Khusus untuk media siber, berita yang menyebutkan identitas anak dan sudah dimuat, diedit ulang agar identitas anak tersebut tidak terungkapkan.
Dewan Pers mempertimbangkan untuk tidak menindaklanjuti pengaduan semacam itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers jika perusahaan pers yang diadukan melakukan pelanggaran serupa sebanyak tiga kali dan meninjau ulang sertifikat wartawan utama yang dimiliki penanggung jawab/pemimpin redaksinya.
Demikian Seruan Dewan Pers untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya.
KOMENTAR ANDA