Ilustrasi memberikan hadiah/Freepik
Ilustrasi memberikan hadiah/Freepik
KOMENTAR

SETIAP manusia sejatinya menginginkan diri menjadi seorang dermawan. Namun alangkah baiknya jika kedermawanan tersebut dilakukan sepenuh hati, sehingga kita termotivasi mencapai puncak dari sikap mulia tersebut. Islam menyebutnya dengan “Itsar”.

Pada dasarnya, konsep itsar berarti rela berkorban atau mengutamakan orang lain dari pada diri sendiri. Dan betapa menakjubkan ketika kita mengetahui bahwa sikap itsar ini ternyata sangat kokoh mengakar dalam tradisi kemurahan hati orang-orang beriman.

Jalaludin as-Suyuti pada kitab Asbabun Nuzul Sebab Turunnya Ayat Al-Qur'an (2022: 690) menjelaskan, Al-Wahidi meriwayatkan dari Muharib bin Ditsar dari Ibnu Umar, dia berkata, suatu ketika, seorang sahabat mendapat hadiah sebuah kepala kambing. Sahabat itu berkata, “Sesungguhnya, saudaraku si Fulan dan keluarganya lebih membutuhkannya daripada aku.”

Dia pun mengirimkan kepala kambing itu kepada temannya tersebut. Hal seperti ini berlangsung berulang kali. Ketika setiap kali kepala kambing itu dihadiahkan kepadanya, setiap kali itu pula yang bersangkutan menghadiahkannya kembali kepada temannya.

Demikianlah, kepala kambing itu berputar-putar di tujuh rumah sampai akhirnya kembali lagi ke rumah orang yang pertama kali menghadiahkannya.

Tentang sikap mereka ini, turunlah firman-Nya (surah al-Hasyr ayat 9), artinya, “Mereka mengutamakan (Muhajirin) atas dirinya sendiri meskipun mereka juga memerlukan.”

Kepala kambing merupakan bahan makanan yang disukai oleh kalangan bangsa Arab. Namun, ketika itu Madinah kedatangan kaum Muhajirin yang sedang berhijrah. Mereka tentunya membutuhkan bahan makanan, dan karenanya orang Anshar sebagai penduduk asli Madinah mendonasikan kepala kambing sekalipun dia sangat menginginkan dan membutuhkannya.

Namun, pemikiran itsar yang sama juga dilakukan sang penerima yang kemudian memutuskan untuk menyumbangkan kepada orang lain. Akhirnya, kepala kambing yang menggiurkan itu berpindah-pindah tangan tujuh kali dan secara dramatis berakhir lagi kepada pemiliknya, yang pertama kali menghadiahkan.

Sekalipun kepala kambing itu amat berharga, tetapi ketulusan dalam itsar membuat kaum muslimin lebih mengutamakan orang lain dibandingkan dirinya sendiri. Kondisi lapar tidak membuat mereka kehilangan empati. Berkat itsar, mereka mampu menekan ego pribadi.

Sedekah dalam wujud itsar merupakan kemuliaan yang luar biasa. Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin 7 (2020: 156) menjelaskan, ada beberapa tingkat kedermawanan dan kekikiran. Itsar adalah tingkat tertinggi kedermawanan dan istilah bagi sedekah atau memberi kepada orang lain sesuatu yang sesungguhnya juga sangat dibutuhkan.

Dengan demikian, ia (orang yang bersedekah) tidak memperhatikan keperluannya sendiri terhadap sesuatu yang sebenarnya juga sangat ia butuhkan. Batasan kemurahan hati adalah mengatasi kebutuhan orang lain sementara ia sendiri sebetulnya sangat memerlukan itu.

Dalam konteks ini, Al-Ghazali menyoroti perbedaan antara itsar dan kemurahan hati, di mana kemurahan hati adalah memberikan sesuatu yang kita miliki secara berlebih kepada orang lain, sementara itsar mengorbankan satu-satunya yang kita miliki untuk memenuhi kebutuhan orang lain. Ini adalah bentuk pengorbanan yang membutuhkan kekuatan moral dan kebesaran hati.

Dalam pandangan Islam, itsar bukan hanya tindakan fisik memberikan, tetapi juga melibatkan sikap hati yang tulus dan niat yang murni. Karena yang kita sedekahkan bukan dari kelebihan harta melainkan sesuatu yang kita juga butuhkan.

Itu adalah bentuk ketulusan dalam mencintai sesama dan kepatuhan terhadap ajaran agama. Karena itsar menjadi pondasi bagi masyarakat yang berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.

Dengan demikian, itsar hendaknya menjadi filosofi hidup yang dapat membentuk masyarakat yang lebih berempati dan peduli terhadap sesama. Dalam dunia yang sering kali dipenuhi oleh egoisme dan ketidakpedulian, konsep itsar menunjukkan bahwa kebahagiaan sejati dapat ditemukan dalam pemberian dan pengorbanan.




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur