PERANG Uhud sangatlah berat, sebab barisan kaum muslimin dihantam habis-habisan oleh gelombang serbuan musuh yang berlipat ganda jumlahnya. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri kehadiran barisan muslimah yang tak kalah gigih berjuang demi eksistensi Islam.
Ali Muhammad ash-Shallabi dalam buku Sejarah Lengkap Rasulullah Jilid 2 (2012: 60-61) mengungkapkan:
Perang Uhud adalah perang pertama dalam Islam yang diikuti kaum muslimah. Peran serta mereka sangat membantu dalam hal memberi minum pasukan dan merawat korban yang terluka. Kepahlawanan dan ketulusan iman kaum muslimah terlihat jelas dalam Perang Uhud ini.
Kaum muslimah ikut serta untuk memberikan air minum kepada pasukan yang kehausan dan merawat yang terluka. Bahkan ada di antara mereka yang melawan pukulan musuh yang ditujukan kepada Rasulullah.
Di antara mereka yang ikut serta dalam Perang Uhud adalah Ummul Mukminin Aisyah binti Abu Bakar, Ummu Imarah, Hamnah binti Jahsy al-Asadiyyah, Ummu Salith, Ummu Sulaim dan beberapa orang muslimah lainnya.
Dari Anas, ia berkata, “Pada Perang Uhud banyak orang yang jauh dari Rasulullah karena sibuk berperang. Saya lihat Aisyah binti Abi Bakar dan Ummu Sulaim bekerja keras, mereka membawa dan mengisi geriba-geriba air.”
Ka’ab bin Malik berkata, “Saya melihat Ummu Sulaim binti Milhan dan Aisyah, di pundak mereka ada geriba-geriba yang mereka bawa pada Perang Uhud. Hamnah binti Jahsyi memberi air minum kepada pasukan yang kehausan dan mengobati yang terluka, sedangkan Ummu Aiman memberi air minum kepada pasukan yang terluka.”
Kaum muslimah tidak hanya berperan sebagai saksi, tetapi turut aktif dalam memberikan kontribusi yang signifikan. Salah satu peran utama mereka adalah dalam memberikan bantuan logistik, khususnya dalam memberi minum pasukan yang kehausan dan merawat korban yang terluka.
Ali Muhammad Ash-Shallabi (2012: 61) menerangkan:
Dari Abu Hazim, ia mendengar Sahl bin Sa’ad, ia ditanya tentang luka Rasulullah, ia berkata, "Demi Allah aku adalah orang yang paling mengetahui siapa yang membasuh luka Rasulullah, siapa yang mengambilkan air dan dengan apa ia diobati.”
“Fatimah putri Rasulullah yang membasuh luka Rasulullah, Ali yang mengambilkan air dengan kantong kulit, ketika Fathimah melihat bahwa air hanya membuat darah semakin banyak, maka ia mengambil potongan tikar, kemudian ia membakarnya dan menempelkannya ke luka Rasulullah, maka darah pun berhenti.”
Inilah saat-saat penuh keagungan di mana keluarga Rasulullah, dalam cinta dan kesetiaan mereka, berusaha sekuat tenaga untuk merawat dan menyembuhkan Nabi mereka. Fatimah dan Ali, suami-istri yang merupakan tonggak keluarga yang diberkahi, memperlihatkan betapa pentingnya keberanian dan pengorbanan dalam menghadapi kesulitan dan kepedihan.
Ali Muhammad Ash-Shallabi (2012: 62) menceritakan:
Tidak ada perempuan yang ikut dalam memerangi orang-orang musyrik pada Perang Uhud kecuali Ummu Imarah Nusaibah al-Maziniyyah. Dhamrah bin Sa’id bercerita tentang neneknya yang telah ikut serta pada Perang Uhud dengan tugas memberi minum para tentara yang kehausan.
Nusaibah berkata, aku mendengar Rasulullah berkata, “Kedudukan Nusaibah binti Ka'ab hari ini lebih mulia daripada kedudukan si fulan dan fulan.”
Rasulullah melihat Nusaibah berperang saat itu sangat tangguh. Nusaibah mengikat pakaiannya pada bagian tengah tubuhnya. Bahkan ia mengalami tiga belas luka.
Perang Uhud bukan hanya tentang para pejuang laki-laki yang bersedia berkorban nyawa untuk agama, melainkan juga melibatkan perempuan yang berani berlaga di medan tempur seperti Nusaibah. Bahkan dia menorehkan namanya dalam catatan kejayaan Islam tatkala menjadinya dirinya sebagai perisai hidup Nabi Muhammad.
Ketulusan iman dan keberanian kaum muslimah dalam Perang Uhud adalah cerminan dari prinsip kesetaraan gender dalam Islam.
Kisah-kisah ini harus menjadi sumber inspirasi bagi kita, mengingatkan bahwa peran perempuan tidak hanya terbatas pada lingkup domestik, tetapi juga melibatkan keterlibatan aktif dalam mempertahankan agama dan masyarakat.
KOMENTAR ANDA