Ilustrasi berghibah/Bincang Syariah
Ilustrasi berghibah/Bincang Syariah
KOMENTAR

BERGUNJING bagi sebagian orang adalah hal yang sangat menarik. Tidak peduli seberapa besar gunjingan tersebut merugikan pihak lain, sang pelaku beranggapan apa yang diperbincangkannya justru semakin menarik saat pihak yang merasa dirugikan tersebut angkat bicara.

Mereka bukannya tidak tahu bahwa hal itu adalah bagian dari perbuatan dosa, namun nampaknya sulit untuk melepaskan diri dari ‘jeratan’ pergunjingan. Bahkan karena terlalu ‘nikmatnya’, mereka bisa bergunjing di mana saja, termasuk tempat-tempat suci seperti rumah ibadah.

Loh, kok bisa?

Ya, itulah hebatnya bergunjing atau bergosip. Semakin digosok akan semakin sip.  Acara keagamaan tidak luput dari dampak buruk gosip. Padahal sejatinya, momen tersebut menjadi ajang instrospeksi spiritual dan penguatan iman.

Para jamaah yang berkumpul dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt justru terperangkap dalam percakapan yang jauh dari esensi religi.

Jalaludin Rakhmat dalam bukunya Meraih Cinta Ilahi (2008: 106-107) menjelaskan, mereka mendengar ucapan yang kotor, yang dalam Al-Qur’an disebut al-laghw. Kata-kata tidak bermanfaat dan maksiat. Mereka berghibah (membicarakan keburukan orang lain), meski seharusnya tutup telinga dari hal demikian.

Ada banyak faktor yang menyebabkan tempat-tempat suci menjadi arena bergosip. Hal pertama tentunya kurangnya pemahman akan nilai-nilai agama dan etika berbicara yang benar.

Kedua, adanya tekanan sosial dan keinginan untuk terlibat dalam obrolan hangat yang pada akhirnya menggeser perhatian dari substansi agama. Keterlibatan dalam pergunjingan dianggap sebagai cara mudah untuk berinteraksi, tanpa mempertimbangkan dampak buruknya.

Sejatinya, ada banyak kerugian moral dari bergunjing, yaitu menciptakan ketidakseimbangan dalam iklim keagamaan, merugikan citra keagamaan secara keseluruhan, hingga akhirnya kehilangan kepercayaan pada majelis keagamaan itu sendiri.

Syekh Khalid Sayyid Rusyah dalam buku Menggapai Nikmatnya Beribadah (2009: 203) menjelaskan, setiap pendidik dan pengajar harus berhati-hati. Jangan sampai majelis keilmuwan mereka berubah menjadi majelis ghibah, namimah (adu domba), ucapan kotor, atau umpatan jorok. Karena hal demikian akan menguatkan respon ketertarikan untuk berbuat dosa dan maksiat di dalam hati peserta didik dengan dalih ilmu dan belajar.

Jangan sampai pula majelis-majelis pengajian para dai berubah menjadi ajang ghibah dengan dalih mengkritik orang lain, sebab Allah Maha Mengetahui kerapuhan dalih mereka dan kebobrokan metode mereka.

Imam Adz-Dzahabi ra megatakan, Abdullah al-Warraq bercerita: Aku pernah mengikuti majelis Ahmad bin Hanbal. Ia bertanya, “Dari mana kalian datang?” Kami menjawab, “Dari majelis Abu Kuraib”.

Dia lalu berkata, “Tulislah tentang dirinya bahwa ia adalah syaikh (guru) yang saleh.” Lalu kami bilang, “Tapi ia mencela dan memaki Anda.” Ia menjawab, “Apalah kilahku jika seorang syaikh yang saleh menyatakan aku bobrok”.

Sebagaimana kisah di atas, seorang ulama tidak mau membicarakan keburukan pemuka di majelis lain yang jelas-jelas telah meng-ghibahnya. Baik sang ulama maupun para jamaah sama-sama teguh menjaga acara keagamaan mereka dari dosa gosip.

Pada akhirnya, patut dipertimbangkan pula saran dari Jalaluddin Rakhmat (2008: 107), bahwa pada setiap pengajian hendaknya kita berdoa allahumasdud asma’ana ‘annillaghwi wal ghibah. Artinya, “Ya Allah, palingkanlah pendengaran kami dari ucapan yang sia-sia dan umpatan”.




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur