PEREMPUAN tersebut telah berusaha hidup lurus, tidak ada lagi pedoman hidupnya kecuali Alla Swt dan Rasulullah. Dirinya telah bekerja keras, banting tulang untuk memperbanyak amal saleh, selain untuk membela ekonomi keluarganya dan juga membantu para fakir miskin.
Namun hatinya terasa remuk tatkala melihat kenyataan bahwa suaminya belum juga memperlihatkan tanggung jawab sebagai kepala keluarga, padahal telah belasan tahun menikah. Apalagi, anak-anaknya menyalin karakter yang sama dengan perangai sang bapak, dengan tingkah polah yang menyesakkan dada.
Ditambah lagi, lingkungan kerja dan tempat tinggalnya tidak kondusif, sering membuatnya makan hati.
Perempuan ini lalu bertanya, apakah hidup lurus itu? Apakah sudah tepat pilihanku?
Tidak hanya satu, mungkin di luar sana banyak sekali Muslimah yang memiliki kisah serupa dengan Perempuan itu. Hidup ‘lurus’ tidak menjamin membuat perjalanan kehidupannya menjadi mulus-mulus saja. Cobaan dan ujian hidup justru semakin banyak, seperti tak putus-putusnya.
Ya, seperti itulah rona kehidupan dunia yang memang tidak sempurna. Banyak orang benar disalahkan, orang lurus dizalimi, orang istikamah difitnah, dan banyak lainnya. Lantas, bagaimana bisa orang-orang saleh dan salehah terdahulu mmampu bertahan dalam keimanannya, meskipun banyak sekali cobaan?
Ialah Khadijah, perempuan konglomerat, kaya raya. Ia menikahi Nabi Muhammad dengan keikhlasan yang luar biasa, hingga hartanya habis demi perjuangan Islam. Di usianya yang tidak muda, Khadijah masih berhadapan dengan kekejian dan kekejaman musuh-musuh agama.
Mengapa Khadijah tidak mengeluh?
Adalagi Aisyah, yang harus menghadapi kehidupan rumah tangga yang menyeramkan. Dirinya dipaksa menikah dengan raja zalim Fir’aun. Kecantikannya seperti menjadi kutukan, istana nan megah hanyalah penjara mengerikan, siksaan lahir batin dipikulnya sepanjang hayat.
Tapi, Aisyah tetap kokoh mempertahankan keimanan meski terbelenggu oleh lelaki terkutuk.
Lain lagi kisah Sumayyah. Perempuan ini mengukir namanya sebagai syahid pertama dalam sejarah Islam. Sumayyah ditikam tombak di bagian aurat paling pribadinya hingga meninggal dunia.
Namun, siksaan tak terperikan itu tidak menggoyahkan pendirian budak Bani Makhzum ini untuk tetap berada di jalan lurus. Bagaimana ia mampu mempertahankan akidah yang benar dalam siksaan yang berat?
Islam memiliki tujuan tertinggi dan terbesar dalam kehidupan akhirat yang abadi. Bagi Islam, kehidupan dunia hanyalah kefanaan. Dunia yang tidak sempurna ini akan ditinggalkan dan kita akan dibawa menuju akhirat dengan keimanan yang ditempa oleh rangkaian ujian.
Sayyid Quthb pada Tafsir Fi Zhilalil Qur`an Jilid 13 (2004: 119) menjelaskan, lebih menyukai kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat itu berbenturan dengan tuntutan-tuntutan iman dan kontradiksi dengan sikap konsisten pada jalan (Allah). Lain halnya jika (lebih) menyukai kehidupan akhirat. Sebab ketika itu, kehidupan dunia akan menjadi baik dan bersikap moderat, serta hubungan dengan Allah bisa terjaga.
Dengan begitu, tidak terjadi kontradiksi antara kecintaan terhadap akhirat dengan kenikmatan kehidupan dunia ini. Orang-orang yang mengorientasikan hatinya kepada kehidupan akhirat itu tidak akan merugi terhadap kenikmatan (kesenangan) kehidupan dunia, sebagaimana yang terjadi dalam masyarakat yang menyimpang.
Dalam Islam, tidak ada pengosongan terhadap kehidupan (dunia) ini dengan menunggu- nunggu (kehidupan) akhirat. Tetapi, yang ada ialah memakmurkan kehidupan ini dengan kebenaran, keadilan, dan sikap istikamah (lurus, konsisten) dalam rangka mencari rida Allah dan persiapan di akhirat.
Uraian di atas semoga membuat kita mampu berbesar hati dalam menghadapi romantika kehidupan duniawi. Apabila mampu melihat tujuan besar di negeri akhirat, maka kita tidak akan pernah kecewa karena balasan terbaik ada di akhirat.
Keyakinan untuk hidup lurus selama di dunia, tidak boleh goyah hanya karena menghadapi ketidaksempurnaan atau saat harapan tidak sesuai dengan kanyataan. Tugas manusia hanyalah berusaha istikamah di jalan yang lurus.
KOMENTAR ANDA