SEPERTINYA, mudah sekali masuk surga, cukup melafazkan laa ilaaha illallah. Sebuah hadits memperkuat pernyataan tersebut, sebagaimana Syaikh Abdul Majid Az- Zandani pada Ensiklopedi Iman (2016: 90):
Syarah Imam An-Nawawi untuk keterangan hadis Rasulullah Saw, “Barangsiapa meninggal dunia sambil mengucapkan laa ilaaha illallah niscaya masuk surga.”
Itulah mengapa kemudian kita sangat biasa mendengar dan menyaksikan talqin terhadap orang yang sedang berjuang melalui sakaratul maut. Ketika seseorang sedang menemui ajalnya, pihak keluarga, kerabat, handai tolan atau siapa saja akan berupaya membisikkan laa ilaaha illallah, dengan harapan sebelum meninggal dunia dia berhasil mengucapkan kalimat yang akan mengantarnya ke surga.
Tindakan talqin dapat dibenarkan dan termasuk amalan yang dianjurkan Rasulullah sebagaimana disebutkan dalam untaian hadisnya. Imam an-Nawawi pada Syarah Riyadhus Shalihin Jilid 2 (2023: 273) mengungkapkan itu:
“Bimbinglah orang-orang yang hendak mati di antara kalian dengan bacaan laa ilaaha illallah.” (HR Muslim)
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Jenazah bab “Talqin Orang yang Mati dengan Kalimat Laa Ilaaha Illallah”.
Satu kelompok ulama memaknai hadis ini secara tekstual, di mana mereka menganjurkan talqin mayit dengan dua kalimat syahadat setelah meninggal dan sesudah dimakamkan saat ditanya dua malaikat.
Ya, sepertinya mudah sekali meraih tiket surga dengan kalimat yang demikian singkat. Namun nyatanya, tidak mudah bagi orang-orang yang sedang dalam sakaratul maut untuk mengucapkan kalimat itu.
Selain proses berpisahnya nyawa dari raga yang memang sangat luar biasa berat, ada penyebab lain mengapa bisa berkhianatnya lisan dan hati. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam buku Setiap Penyakit Ada Obatnya (2022: 129-130) menjelaskan, bahkan di sana ada hal yang lebih menakutkan dan mengenaskan lagi, yaitu jika hati dan lisan berkhianat kepadanya pada saat kematian dan beralih kepada Allah, yang boleh jadi lisan tidak lagi dapat mengucapkan syahadat, seperti yang banyak dialami manusia ketika ajal menjemputnya.
Ketika ada orang lain menuntun bacaannya, maka dia berkata, “Ah, uh. Aku tidak bisa mengucapkannya.”
Ada pula yang justru berkata, “Skak! Kini aku dapat mengalahkanmu.” Setelah itu dia meninggal. Atau mendendangkan lagu bahkan tak peduli dengan pentalqin.
Contoh lainnya, ada yang justru bertanya, “Apakah ucapan itu berguna bagiku, padahal aku tidak pemah mendirikan salat?” Dia benar-benar tidak mengucapkannya dan akhirnya dia meninggal.
Kami pernah diberitahu tentang seorang gelandangan yang sedang mengalami sakaratul maut. Sesaat sebelum meninggal, ia berkata, “Sekeping uang demi Allah, sekeping uang demi Allah!"
Lalu dia pun meninggal.
Kami juga pernah diberitahu tentang seorang pedagang yang hampir meninggal dunia. Para kerabatnya menuntun bacaan laa ilaaha illallah. Namun dia berkata, “Barang ini sangat murah. Itu ada pembeli yang baik.” Sesaat kemudian dia pun meninggal dunia.
Demikianlah, kita dapat menyaksikan berbagai drama sakaratul maut, di mana lisan dan hati malah berkhianat kepada orang yang sedang meregang nyawa. Bahkan hanya sekadar mengucapkan laa ilaaha illallah saja hatinya tidak tergerak dan lisannya mengatakan hal lain.
Oleh sebab itu, perlu dipahami bahwa laa ilaaha illallah bukan sekadar kalimat singkat, melainkan tentang apa yang bertahta di hati. Apabila keimanan kepada Allah Swt yang bersemayam, niscaya di saat sakaratul maut hati kita akan menggerakkan kekuatan tauhid itu,
sehingga mudah sekali mengucapkan laa ilaaha illallah.
Tapi bila tidak ada iman di dada, jangan heran apabila sakaratul maut justru yang diucapkan adalah segala rupa tipu daya duniawi.
Akhirnya, ini bukan sekadar perkara bagaimana lisan mengucapkan laa ilaaha illallah melainkan tentang kekuatan iman. Sesungguhnya surga itu teramat dekat bagi mereka yang menjaga tauhidnya.
KOMENTAR ANDA